 |
Peziarah berdoa di makam Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di area
Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa
Timur, Jumat (20/7). Gus Dur meninggal tiga tahun lalu, tetapi makamnya
hingga kini masih ramai dikunjungi peziarah dari lintas agama.
(KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA) |
Oleh Idha Saraswati dan Herpin Dewanto
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah tiada, tetapi sosoknya terus
menarik simpati. Setiap hari ribuan orang dari beragam latar belakang
menziarahi makamnya. Di depan pusara Gus Dur, mereka berdampingan,
berdoa dalam kebersamaan.
Makam Gus Dur di bagian belakang
pekarangan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tak pernah sepi. Di kompleks makam
keluarga seluas 100 meter itu, Gus Dur—meninggal pada 30 Desember
2009—dibaringkan berdampingan dengan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, dan
ayahnya, KH Wahid Hasyim.
Seperti Jumat (20/7), seusai shalat
Jumat, peziarah dan santri muda berdampingan di depan makam Gus Dur.
Dengan kepala menunduk, mereka khusyuk mengucapkan doa.
Lalan
(42), peziarah dari Gresik, Jatim, berdoa di sisi kanan makam. Ia datang
bersama keluarganya, menumpang minibus. ”Saya mengantar anak dan
keponakan yang mau mondok di Lamongan. Memang direncanakan shalat Jumat
di sini, sekalian ziarah ke makam Gus Dur,” ujarnya.
Lalan
mengaku amat menghormati Gus Dur. Selain karena sesama Muslim, ia juga
mengagumi Gus Dur karena bisa merangkul semua umat, baik Muslim maupun
non-Muslim.
Peziarah lainnya, Sutrisno (40), guru di Pondok
Pesantren Al Qodiri 4 Jember, Jatim, datang bersama rekannya. Ia mengaku
kerap ke makam Gus Dur dan mengajak siswanya berziarah. ”Akhlaknya
baik, orangnya adil. Banyak yang bisa dikagumi dari Gus Dur. Bagi saya,
dia seorang wali,” katanya.
Penghormatan
KH
Salahuddin Wahid atau Gus Solah, adik Gus Dur yang kini mengelola
Pondok Pesantren Tebuireng, menuturkan, keluarganya tak pernah
membayangkan makam itu akan didatangi begitu banyak peziarah. ”Fenomena
ini jarang terjadi. Biasanya yang diziarahi itu makam wali atau kiai
besar yang sudah lama meninggal,” ujarnya.
Pada hari biasa,
peziarah bisa mencapai 2.000 orang per hari. Jumlah itu melonjak hingga
puluhan ribu orang pada hari libur dan menjelang Ramadhan. Tahun 2011,
peziarah diperkirakan mencapai satu juta orang.
Mereka datang tak
mengenal waktu sehingga pengelola pesantren harus menutup gerbang saat
subuh dan maghrib. ”Supaya peziarah tidak rebutan kamar mandi dengan
santri,” kata Gus Solah.
Semasa hidupnya, Gus Dur juga kerap
berziarah ke makam kiai. Setiap datang ke suatu daerah, ia akan
menanyakan makam tokoh yang dikeramatkan masyarakat dan mendatanginya.
Peziarah
makam Gus Dur datang tak hanya dari umat Islam. Ada rombongan peziarah
dari wihara, gereja, dan kelenteng. Mereka datang untuk menyampaikan
rasa hormat kepada Gus Dur. Rasa hormat itu muncul karena mereka menjadi
saksi sepak terjang Gus Dur.
Sikap terbuka
Kiprah
Gus Dur—lahir di Denanyar, Jombang, 7 September 1940 (versi lain
menyebut 4 Agustus 1940)—dikenal luas saat terpilih menjadi Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1984. Sebagai pemimpin organisasi
Islam terbesar di Indonesia, dia adalah sosok yang menghormati kebebasan
beragama dan hak asasi manusia. Ia tidak hanya bicara, tetapi juga
bertindak. Ia berani ”pasang badan” untuk melindungi kelompok minoritas
yang ditindas.
Gus Solah mencontohkan, pada masa Orde Baru,
perkawinan dengan memakai tata cara Konghucu dilarang pemerintah. Namun,
Gus Dur berani saat diminta menjadi saksi perkawinan itu. ”Saya kalau
ditanya soal perkawinan itu pasti mendukung, tetapi sebagai saksi pada
saat itu, saya belum tentu berani,” tuturnya.
Menurut dia, sikap
terbuka menerima perbedaan yang ditunjukkan Gus Dur itu memang
dipraktikkan di dalam keluarga. Kakek, ayah, dan ibunya memberikan
contoh itu. Sejak kecil mereka dibebaskan membaca berbagai jenis bacaan
sehingga memiliki wawasan yang terbuka.
Greg Barton, peneliti
Islam dari Australia yang menulis biografi Gus Dur, juga menyinggung hal
itu dalam bukunya. Gus Dur tumbuh dalam lingkungan yang terbuka.
Ayahnya, Wahid Hasyim, sangat menghargai kebudayaan Islam tradisional.
Namun, ia memiliki lingkup pergaulan yang luas sehingga rumahnya
dikunjungi tamu dari berbagai golongan, termasuk orang Eropa.
Gus
Dur konsisten menghormati kebebasan beragama. Pada 1989, ia ikut
mengajukan gugatan terhadap undang-undang penodaan agama yang disahkan
pada 1965. Undang-undang itu dinilai tidak sesuai perkembangan zaman.
Ia
juga mendukung pluralisme meskipun itu sensitif. ”Bagi Gus Dur,
pluralisme bukan menilai semua agama sama. Bagi Gus Dur, agama yang
paling benar ya Islam, tetapi ia menghormati yang lain,” kata Gus Solah.
Dalam
masa kepresidenannya yang singkat, 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli
2001, Gus Dur melakukan banyak gebrakan. Salah satu yang selalu
dikenang adalah keputusannya mencabut pelarangan budaya, bahasa, dan
adat istiadat Tionghoa.
Dengan keputusan itu, warga Tionghoa yang
selama 30 tahun hidup dalam tekanan bisa bergerak lebih bebas
mengekspresikan identitas mereka. Liem Ou Yen, tokoh Paguyuban
Masyarakat Tionghoa Surabaya, menuturkan, warga Tionghoa tak bisa
melupakan jasa Gus Dur. Mereka kini bisa merayakan Imlek.
Sebagai
bentuk terima kasih, lanjut Liem, ia dan warga Tionghoa lain kerap
berziarah ke makam Gus Dur. Liem, yang beragama Buddha, sudah tiga kali
ke makam itu.