DAFTAR BERITA

Minggu, 27 Mei 2012

Ibu Hj. Dra. Shinta Nuriyah Wahid, M. Hum.: Pejuang Hak-Hak Perempuan


Ibu Hj. Dra. Shinta Nuriyah Wahid, M. Hum.: Pejuang Hak-Hak Perempuan Dra. Hj, Shinta Nuriyah Wahid (lahir di Jombang, 8 Maret 1948) adalah isteri mantan Presiden Indonesia keempat KH. Abdurrahman Wahid (atau Gus Dur) yang menjabat dari tahun 1999 hingga tahun 2001. Beliau menikah dengan Gus Dur pada tanggal 11 September 1971. Pada 3 Juli 2000 beliau mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati. PUAN sendiri adalah singkatan dari “Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan.” Ibu dari empat orang anak ini yaitu Alisa Qotrunnada Munawaroh(Lissa), Zannuba Arifah Khafsah (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita) dan Inayah Wulandari (Ina), juga membentuk FK3 yaitu Forum Kajian Kitab Kuning yang telah menghasilkan 2 buku yaitu “Wajah Baru Relasi Suami Isteri” dan  “Kembang Setaman Perkawinan”. Akibat kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan, Ibu Shinta mendapat banyak penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut adalah hasil wawancara yang disarikan oleh Sahabat Riri dan Emma.
Bisakah Ibu ceritakan tentang kehidupan masa kecil sebagai seorang anak perempuan?
Ibu saya anak tunggal, dan beliau “balas dendam”, dengan memiliki anak yang jumlahnya delapan belas orang. Saya adalah anak nomer satu dari 15 orang anak yang hidup. Kami bersaudara yaitu 7 laki-laki dan 8 perempuan. Tapi, dirumah orang tua kami tidak pernah membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Kami diperlakukan sama, sehingga adik-adik saya yang laki-laki mereka pandai menyapu, mengepel, memasak nasi goreng dan sebagainya. Kami sekeluarga, tidak ada perbedaan perlakuan orang tua baik kepada anak laki-laki dan anak perempuan.
Bagaimana relasi gender di dalam rumah tangga ketika suami Ibu, yaitu KH. Abdurrahman Wahid masih hidup?
Ketika kami memulai rumah tangga dan kemudian memiliki anak, kami tidak membedakan ini pekerjaan suami, ini pekerjaan istri, ataupun sebalinya ini kewajiban suami dan ini kewajiban istri. Boleh dibilang kami tidak memusingkan masalah pembedaan, tetapi berbagi pekerjaan itu prinsip kami berumah tangga.  Waktu kami memiliki anak dan misalnya kami tidak memiliki pembantu, Mas Dur (panggilan akrab Bu Shinta terhadap suaminya), dia senang mengerjakan pekerjaan yang ada unsur ainya.  Misalnya Bapak yang mencuci saya yang menyetrika,  saya yang menyapu, bapak yang mengepel, saya yang masak dan bapak yang mencuci piring dan sebagainya.  Waktu  memiliki anak pertama, kami masih tinggal sama orang tua, sehingga ibu banyak membantu urusan mengasuh anak.  Namun, ketika kami memiliki anak kedua, kami kemudian sudah tinggal di rumah sendiri, dan ketika Mbak Yenny (anak kedua) masih bayi dan malam-malam menangis, Bapak yang bangun duluan, menggantikan popoknya dan terus diberikan ke saya untk disusui.  kalau dia sudah tidur lagi, maka Bapak mengangkatnya dan menaruh kembali ke tempat tidurnya.  Jadi dalam rumah tangga kami tidak ada pembagian pekerjaan yang ketat, tapi kami saling melengkapi.
Ketika menjadi Ibu Negara, bagaimana Ibu memanfaatkan posisi penting tersebut bagi kemajuan perempuan di Indonesia?
Selama saya menjadi Ibu Negara saya membuat program-program pemberdayaan perempuan. Tentu saja saya tidak terjun langsung ke wilayah grassroots tetapi aktif mendorong keputusan-keputusan pemerintah agar membawa perbaikan bagi kehidupan perempuan. Kalau saya ke luar negeri, dan bertemu dengan banyak pihak, saya selalu menceritakan kondisi perempuan di Indonesia, dan sharing tentang kondisi perempuan di negara-negara lain. Saya berusaha membangun jaringan Internasional demi kemajuan perempuan Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi titik-balik dalam kehidupan Ibu untuk memperjuangkan nasib perempuan?
Pada dasarnya saya memiliki kepedulian terhadap perempuan sejak dulu, tetapi ketika mulai masuk di Women’s Studies (Kajian Wanita) Universitas Indonesia, di semester I dan II, saya merasa kenapa menjadi perempuan itu runyam sekali.  Kenapa perempuan mendapat perlakukan yang tidak adil, baik dari masyarakat  maupun agama?Lalu, saya mulai mengkaji bagaimana sebetulnya agama memandang perempuan. Apakah betul  bahwa agama pada taraf tertentu memberikan legitimasi untuk praktik-pratik ketidakadilan bagi perempuan?  Dari sini kemudian saya mendalam isu-isu perempuan terutama dalam konteks agama (Islam).
Thesis saya adalah tentang pernikahan usia muda dan kesehatan reproduksi perempuan, saya banyak mendapatkan pengalaman menarik dan membuat saya semakin kuat untuk menjadi pejuang perempuan. Karena kawin usia muda ini adalah bahasan tentag pernikahan, dimana di pesantren kita mengenal sebuah kitab yang sangat populer yaitu Kitab ‘Uqud Al-lujjain, karangan Imam Nawawi al-Bantani, saya kemudian membaca kita tersebut dan shock karena perempuan tidak memiliki harkat dan martabat sama sekali di dalam kitab tersebut.  Saya dan kawan-kawan kemudian membongkar kitab ‘Uqud al-Lujjain dan lahirlah Forum Kajian Kitab Kuning (FK3).  Jadi, FK3 ini lahir lebih dulu dibandingkan dengan Puan Amal Hayati.

Selain kitab ‘Uqud al-Lujjain, apakah FK3 juga mengkaji kitab-kitab klasik lain?
Iya, saat ini kami sedang mengkaji kitab Taqrib dan kami berkesimpulan bahwa kitab ini isinya sebagian besar sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Namun, di pesantren kitab ini masih banyak dibaca. Sebagai contoh, bahwa air yang boleh kita gunakan untuk berwudhu adalah  empat dzira’. Satu dzira’ itu panjangnya satu lengan orang Arab. Nah, apakah lengan orang Arab ini sama dengan lengannya orang Indonesia. Lalu, bagaimana kita memahamainya? Kira perlu melakukan reinterpretasi dan re-read terhadap kitab Taqrib. Ini hanyalah satu contoh sederhana yang ada di kitab Taqrib dan masih banyak lagi yang perlu dinterpretasikan agar sesuai dengan perubahan zaman.
Menurut Ibu, bagaimana realitas perempuan Indonesia dalam konteks kekikinian?
Menurut saya, meskipun perempuan Indonesia sudah jauh lebih maju daripada masa-masa yang lalu, tetapi ada 3 isu penting yang harus diperjuangkan saat ini, yaitu isu kebodohan, kesehatan dan kemiskinan. Misalnya, di masyarakat pedesaan bahwa prioritas sekolah adalah buat anak laki-laki, hal ini masih sering saya temukan. Kalau isu kesehatan berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan, sampai sekarang masih banyak perempuan belum mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang memadai. Bahkan informasi tentang kesehatan reproduksi pun masih sulit untuk dijangkau.
Pada waktu ulang tahun saya kemarin, saya tidak mengadakan pesata ulang tahun tapi saya mengadakan pemeriksaan Pap Smears kepada perempuan yang tidak mampu yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal saya.  Dan dalam kegiatan ini saya juga mendapat sumbangan minyak gorang dari Sinar Mas, yaitu Filma. Kebanyakan para perempuan yang datang kesini bukan untuk Pap Smears tetapi demi mendapatkan minyak gratis. Nah, ini lebih penting mana antara minyak goreng dengan kesehatan reproduksi perempuan sendiri?
Kalau soal kemiskinan perempuan bagaimana Bu?
Jeals, akibat tingkat pendidikan yang rendah, maka perempuan tidak mendapatkan pekerjaan yang cukup layak. Apalagi jika suaminya hanya seorang yang tidak memiliki pekerjaan yang baik, maka kehidupan perempuan pun semakin buruk. Jadi, sampai sekarang  kemiskinan itu masih berwajah perempuan.
Bagaimana perhatian agama terhadap isu-isu perempuan selama ini?
Menurut saya problemnya ada di wilayah interpretasi. Sebenarnya agama tidak pernah merendahkan perempuan. Justru mengangkat harkat dan martabat perempuan. Di Al-qur’an sendiri, jelas dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi,  kalau kita lihat bahwa para mufassir ini kebanyakan adalah laki-laki, otomatis kepentingan laki-laki juga cukup dominan di dalam penafsiran Al-qur’an. Yang harus dilakukan adalah meluruskan penafsiran yang bias gender ini.
Lalu bagaimana kaitannya dengan otoritas untuk melakukan reinterpretasi agama?
Memang ada banyak syarat untuk menginterpretasi al-Qur’an, makanya saya selalu bersama dengan tim yang terdiri dari para intelektual dari berbagai disiplin ilmu, harus ada ahli bahasa Arab, Ahli Fiqh, Ahli Hadis dan sebagainya. Dengan kerja tim yang sifatnya interdisipliner ini, diharapkan interpretasi yang kami lakukan bersifat akademik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Menurut Ibu, apa tantangan terbesar yang dihadapi di Indonesia terkait dengan isu kesetaraan gender?
Tantangannya adalah dari tokoh-tokoh agama yang masih memahami agama secara tekstual dan ditambah dengan budaya yang masih patriarkhal. Agama dan budaya ini saling terjalin erat sehingga orang sulit membedakan mana yang dari ajaran agama dan mana yang dari budaya. Sebagai contoh,  di Indonesia orang masih menganggap bahwa tugas-tugas domestik seperti mengurus anak, mencuci, memasak adalah murni kewajiban istri, dan kalau tidak dikerjakan adalah berdosa dan masuk neraka.  Itu pandangan masyarakat Islam Indoensia. Nah, kalau kita pergi ke Mekkah, tempat turunnya Wahyu Allah siapa yang mengerjakan itu semua? Yang ke pasar laki-laki, yang masak laki-laki, yang bersih-bersih rumah laki-laki. Perempuan hanya hamil dan melahirkan saja.
Terkait dengan aktivitas Ibu, penghargaan apa saja yang telah Ibu terima?
Ada banyak dan saya tidak dapat menyebutnya satu-persatu, anda bisa cari di google, yang saya ingat adalah dari Sokka Gakhai Internasional, Femina dan Trans 7.
Untuk kemajuan perempuan Indonesia, apa yang harus dilakukan ke depan?
Perempuan Indonesia harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan pendidikan yang setinggi-tingginya. Dan ini mesti menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Indonesia tidak akan maju, kalau perempuannya juga tidak maju.
Apa harapan Ibu terhadap Fatayat NU sebagai sebuah organisasi perempuan?
Menurut saya ada beberapa PR buat Fatayat NU; Pertama, di isu kesehatan perempuan, misalnya kaum perempuan belum dapat menjalani kehamilannya dan persalinannya dengan aman dan selamat. Itu karena informasi dan edukasi belum menjangkau perempuan secara keseluruhan. Akibatnya angka kematian ibu dan anak masih tinggi di Indonesia. Kedua, negara belum dapat memberikan perlindungan yang baik bagi kesehatan reproduksi perempuan. Ketiga, terkait dengan isu perempuan dan kemiskinan, para perempuan yang hendak melepaskan diri dari lilitan kemiskinan justru menjadi lahan eksploitasi seperti oleh industri seks dan mafia perdagangan orang (trafficking). Jadi, pesan saya untuk Fatayat NU adalah mari bekerja untuk membebaskan perempuan Indonesia dari segala bentuk ketertindasan melalui pendidikan dan advocacy. {Sumber : Website fatayat NU.,Antara}.
BERITA TERKAIT :

  1. Ani Yudhoyono Digadang-gadang Jadi Capres Demokrat

  2. Ani Yudhoyono ke Acara NU Karena Undangan Resmi

  3. Ibu Negara Hadiri Harlah Fatayat NU,Wartawan Dilarang Wawancarai

  4. "Pocong" Datangi KPUD Jakarta

  5. Susunan Baru Fraksi Demokrat di DPR

  6. Pemberian Grasi ke Corby,Australia Tekan Indonesia

  7. PEMILUKADA PADANGSIDIMPUAN,PAN USUNG DEDI-AFFAN

    BERITA TERPOPULER :
    Daftar Peserta dan Lokasi PLPG Gelombang 1 Unimed,PALUT

Tidak ada komentar: