INFO TABAGSEL.com-Apa jadinya, kalau Sumatera Utarater belah dalam kepingan kecil, bahkan ada pengamat politik mengusulkan, Sumut dimekarkan menjadi 11provinsi ? Yang jelas, setelah sebelumnya mengumbar ke permukaan tentang Provinsi Kepulauan Nias dan Provinsi Tapanuli, sekarang dimungkinkan bakal lahir bayi Sumatera Tenggara, dengan wilayah Tapanuli Bagian Selatan dan Pantai Barat.
Shohibul Anshor Siregar, pengamat politik yang juga dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, mengungkapkan, Sumatera Utara memerlukan pemimpin terjangkau dalam arti rakyat bisa akses secara penuh, dan kepentingan rakyat dimungkinkan menjadi agenda nomor satu di benak pemimpin.
“Caranya, hanya dengan memekarkan Sumatera Utara seideal mungkin, atau kata-kanlah menjadi 11 provinsi kecil-kecil,” kata Shohibul yang juga Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS) ini.
Sebagai gambaran, ke -11 provinsi yang diusulkan ialah eks Taput dimekarkan satu kabupaten lagi sehingga memenuhi syarat UU menjad iProtap (karena menurut dia, UU yang baru disahkan akan terus-menerus mendapat penolakan rakyat Sibolga-Tapteng).
Kemudian, eks Kab. Nias. Menurut dia, UU yang baru sudah tepat menjadikan Provinsi Kepulauan yang selama ini didiskriminalisasi. Selain itu, Langkat-Binjai (Langkat dimekarkan lebih dulu, sebagian wilayah Deliserdang diambil alih).
Menurut Shihibul, Deliserdang-Serdang Bedagai-Tebing Tinggi bisa diusulkan menjadi satu provinsi dengan terlebih dahulu memekarkan DS dan Serdang Bedagai.
Pematang-siantar-Simalungun dengan cara Simalungun tidak hanya dimekarkan dua kabupaten. Selain itu, Tanjungbalai-Asahan-Batubara, eks Labu-hanbatu, eks Tapsel, Phakpak Bharat-Dairi-Karo (sebagian wilayah Deliserdang diambilalih), Sibolga -Tapteng. Bahkan, menurut dia, Kota Medan bisa menjadi satu provinsi.
Pertanyaannya, benarkah tuntutan pemekaran ini bertujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat ? Menurut dia, pemekaran sudah lebih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan di antara elit lokal yang diikuti situasi rawan konflik horizontal. Usul pemekaran juga selalu didasarkan pada kesadaran etnik yang menguat, dan sekaligus ekspresi ketidakpuasan yang menyejarah (akut). Berhadapan dengan aspirasi seperti ini (usul pemekaran),lanjut Shohibul, pada umumnya kepala daerah untuk semualevel sering menunjukkan sikap kalap, antara lain dengan memperlakukan para penggagas kurang lebih sebagai tokoh separatisme lokal yang mengancam keutuhan NKRI.
“Karenanya, sulit dibantah tiadanya andil kepala daerah terhadap semua konflik yang berpangkal pada tuntutan pemekaran wilayah, termasuk kasus kematian Abdul Aziz Angkat (Ketua DPRDSU) dalam tragedi demo Protap tempohari,” ujarnya.
Dikatakan, pewacanaan tentang tidak selalu kuatnya hubungan kausalitas antara pemekaran di satu pihak dank esejahteraan masyarakat di pihak lain, secara nasional sudah lama didorong ke arah terciptanya iklim taubat pemekaran,”dan itu terlihat pada program legislasi nasional dan daerah.
Menurut Shohibul Anshor Siregar, jika pemekaran adalah solusi politik dengan cara memangkas mata rantai birokras iyang memperlambat atau mereduksi (kuantitatif dan kualitatif) pelayanan yang seharusnya terhadap masyarakat, maka dia adalah sebuah keniscayaan.
“Untuk apa pemerintahan itu buat masyarakat jika (hanya) membebani dalam banyak hal, atau jika untuk sekadar member perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak dasar saja tak memiliki kemampuan. Itulah pertanyaan dasar yang menuntut perubahan filsafat kepemerintahan secara radikal,” katanya.
Pikiran ini, lanjut Shohibul, sepintas terasa ektrim dan jangan-jangan dianggap berbau subversif. Tetapi hal itu diyakininya hanya karena warisan filsafat kepemerintahan konservatif yang lebih nyaman dengan sentralisme dan budaya eksploitatif yang masih belum sembuh.
“Penjajah mewariskan itu kepada alam pikiran pemerintahan Indonesia, dan belum mengalami perubahan meski sudah gonta-ganti rezim pemerintahan sejak merdeka,” katanya.
Pemekaran Sumut menjadi 11 provinsi dipandangnya solusi politik yang bisa menjadi jembatan untuk akselerasi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Selain perubahan paradigma kepemerintahan, amat diperlukan perubahan undang-undang sebagai landasan baru untuk pemekaran.
“Untuk itulah, perubahan UU dan revisi radikal dalam filosofi kepemerintahan harus didorong, yang barang tentu menjadi agenda yang harus dititipkan kepada rezim pemerintahan 2014-2019,” katanya.
Bertumpuk Di Jawa
Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga mengungkapkan, semangat pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi dan kabupaten/kota dimaksudkan untuk mendistribusi aset, fiskal dan kewenangan dan mengurangi kesenjangan pembangunan.
Dijelaskan, saat ini, aset, fiskal dan kewenangan bertumpuk di Pulau Jawa, lebih-lebih di Jakarta. “Kita ingin mendistribusikan pembangunan dan mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi, karena 70 persen berputar dan dianggarkan di Jawa termasuk di Jakarta,” ujarnya.
Semangat ini, lanjut dia, memunculkan UU Pemda dan kemudian diteruskan dengan Peraturan Pemerintah No 192 yang kemudian diubah menjadi UU No 87 tahun 2007 tentang pembentukan dan penggabungan daerah otonom baru.
Chaidir Ritonga mengungkapkan, berdasarkan PP ini,pemekaran provinsi seIndonesia yang sudah dibuat Kemendagri dimungkinkan terbentuk 70 provinsi secara nasional dari sebelumnya 33 provinsi, sedangkan Sumut dapat alokasi penambahan satu provinsi pemekaran.
“Itu minimal. Persoalannya sekarang, aspirasi masyarakat dari masyarakat Tapanuli meminta mereka mekar, Nias juga demikian, Sumatera Tenggara atau Tabagsel dan Pantai Barat juga begitu,” katanya.
Dijelaskan, secara geografis, Sumatera Tenggara itu 26 persen luasnya dari total wilayah Sumut, sehingga berdasarkan prinsip manajerial, wilayah seluas itu manajemen pemerintahan dengan rentang kendali sejauh itu dimungkinkan kurang efektif. “Semakin sempit yang kita kelola kan semakin fokus,”ujarnya sambil menggambarkan jarak dari Medan ke Padangsidimpuan mencapai 12 jam melalui jalan darat.
Khusus Nias, kata Chaidir Ritonga, manfaat lain, sebagai pulau terluar dalam konteks Hankamnas menjadi prioritas untuk dimekarkan, untuk keutuhan NKRI.“Dari tiga daerah yang diusulkan mekar menjadi provinsi baru di Sumut, selain aspirasi masyarakat, juga ada PP No78 tahun 2007 yang mengkualifikasi.
Kalau dirujuk dariperaturan pemerintah ini, Sumatera Tenggara yang paling layak mekar berdasarkan parameter dalam kaitan IpoleksosHankam,” ujarnya. Diakuinya, ada orang meniup-niupkan, seolah-olah pemekaran atau pembentukan provinsi baru hanya menciptakan raja-raja kecil atau koruptor-koruptor baru.
“Saya kira, aspirasi itu patut kita dengar, karena memang mungkin beberapa daerah menunjukkan catatan seperti itu.Tatapi jangan karena ulah orang per orang, konsep desentralisasi yang tujuannya mengakselerasi pembangunan dan mendistribusi keuangan, aset dan fiskal, lalu kita abaikan,” katanya.
Chaidir Ritonga juga mendengar kekhawatiran jika daerah pemekaran gagal yang kemudian menjadi beban pemerintah. “Belum ada penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik menyangkut pemekaran yang gagal, khususnya dalam konteks di Sumatera Utara,” ujar kandidat Doktor bidang pemekaran wilayah ini.
Sedangkan Ketua Tim Panitia Pemekaran Sumatera Tenggara tingkat Sumut Hamdani Harahap mengungkapkan,pemekaran Sumatera Tenggara berdasarkan amanah undang-undang dan studi kelayakan berdasarkan kajian akademik. Dia sangat optimis, pemekaran Sumatera Tenggara akan membawa kemaslahatan bagi orang banyak. (irh)
Shohibul Anshor Siregar, pengamat politik yang juga dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, mengungkapkan, Sumatera Utara memerlukan pemimpin terjangkau dalam arti rakyat bisa akses secara penuh, dan kepentingan rakyat dimungkinkan menjadi agenda nomor satu di benak pemimpin.
“Caranya, hanya dengan memekarkan Sumatera Utara seideal mungkin, atau kata-kanlah menjadi 11 provinsi kecil-kecil,” kata Shohibul yang juga Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS) ini.
Sebagai gambaran, ke -11 provinsi yang diusulkan ialah eks Taput dimekarkan satu kabupaten lagi sehingga memenuhi syarat UU menjad iProtap (karena menurut dia, UU yang baru disahkan akan terus-menerus mendapat penolakan rakyat Sibolga-Tapteng).
Kemudian, eks Kab. Nias. Menurut dia, UU yang baru sudah tepat menjadikan Provinsi Kepulauan yang selama ini didiskriminalisasi. Selain itu, Langkat-Binjai (Langkat dimekarkan lebih dulu, sebagian wilayah Deliserdang diambil alih).
Menurut Shihibul, Deliserdang-Serdang Bedagai-Tebing Tinggi bisa diusulkan menjadi satu provinsi dengan terlebih dahulu memekarkan DS dan Serdang Bedagai.
Pematang-siantar-Simalungun dengan cara Simalungun tidak hanya dimekarkan dua kabupaten. Selain itu, Tanjungbalai-Asahan-Batubara, eks Labu-hanbatu, eks Tapsel, Phakpak Bharat-Dairi-Karo (sebagian wilayah Deliserdang diambilalih), Sibolga -Tapteng. Bahkan, menurut dia, Kota Medan bisa menjadi satu provinsi.
Pertanyaannya, benarkah tuntutan pemekaran ini bertujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat ? Menurut dia, pemekaran sudah lebih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan di antara elit lokal yang diikuti situasi rawan konflik horizontal. Usul pemekaran juga selalu didasarkan pada kesadaran etnik yang menguat, dan sekaligus ekspresi ketidakpuasan yang menyejarah (akut). Berhadapan dengan aspirasi seperti ini (usul pemekaran),lanjut Shohibul, pada umumnya kepala daerah untuk semualevel sering menunjukkan sikap kalap, antara lain dengan memperlakukan para penggagas kurang lebih sebagai tokoh separatisme lokal yang mengancam keutuhan NKRI.
“Karenanya, sulit dibantah tiadanya andil kepala daerah terhadap semua konflik yang berpangkal pada tuntutan pemekaran wilayah, termasuk kasus kematian Abdul Aziz Angkat (Ketua DPRDSU) dalam tragedi demo Protap tempohari,” ujarnya.
Dikatakan, pewacanaan tentang tidak selalu kuatnya hubungan kausalitas antara pemekaran di satu pihak dank esejahteraan masyarakat di pihak lain, secara nasional sudah lama didorong ke arah terciptanya iklim taubat pemekaran,”dan itu terlihat pada program legislasi nasional dan daerah.
Menurut Shohibul Anshor Siregar, jika pemekaran adalah solusi politik dengan cara memangkas mata rantai birokras iyang memperlambat atau mereduksi (kuantitatif dan kualitatif) pelayanan yang seharusnya terhadap masyarakat, maka dia adalah sebuah keniscayaan.
“Untuk apa pemerintahan itu buat masyarakat jika (hanya) membebani dalam banyak hal, atau jika untuk sekadar member perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak dasar saja tak memiliki kemampuan. Itulah pertanyaan dasar yang menuntut perubahan filsafat kepemerintahan secara radikal,” katanya.
Pikiran ini, lanjut Shohibul, sepintas terasa ektrim dan jangan-jangan dianggap berbau subversif. Tetapi hal itu diyakininya hanya karena warisan filsafat kepemerintahan konservatif yang lebih nyaman dengan sentralisme dan budaya eksploitatif yang masih belum sembuh.
“Penjajah mewariskan itu kepada alam pikiran pemerintahan Indonesia, dan belum mengalami perubahan meski sudah gonta-ganti rezim pemerintahan sejak merdeka,” katanya.
Pemekaran Sumut menjadi 11 provinsi dipandangnya solusi politik yang bisa menjadi jembatan untuk akselerasi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Selain perubahan paradigma kepemerintahan, amat diperlukan perubahan undang-undang sebagai landasan baru untuk pemekaran.
“Untuk itulah, perubahan UU dan revisi radikal dalam filosofi kepemerintahan harus didorong, yang barang tentu menjadi agenda yang harus dititipkan kepada rezim pemerintahan 2014-2019,” katanya.
Bertumpuk Di Jawa
Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga mengungkapkan, semangat pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi dan kabupaten/kota dimaksudkan untuk mendistribusi aset, fiskal dan kewenangan dan mengurangi kesenjangan pembangunan.
Dijelaskan, saat ini, aset, fiskal dan kewenangan bertumpuk di Pulau Jawa, lebih-lebih di Jakarta. “Kita ingin mendistribusikan pembangunan dan mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi, karena 70 persen berputar dan dianggarkan di Jawa termasuk di Jakarta,” ujarnya.
Semangat ini, lanjut dia, memunculkan UU Pemda dan kemudian diteruskan dengan Peraturan Pemerintah No 192 yang kemudian diubah menjadi UU No 87 tahun 2007 tentang pembentukan dan penggabungan daerah otonom baru.
Chaidir Ritonga mengungkapkan, berdasarkan PP ini,pemekaran provinsi seIndonesia yang sudah dibuat Kemendagri dimungkinkan terbentuk 70 provinsi secara nasional dari sebelumnya 33 provinsi, sedangkan Sumut dapat alokasi penambahan satu provinsi pemekaran.
“Itu minimal. Persoalannya sekarang, aspirasi masyarakat dari masyarakat Tapanuli meminta mereka mekar, Nias juga demikian, Sumatera Tenggara atau Tabagsel dan Pantai Barat juga begitu,” katanya.
Dijelaskan, secara geografis, Sumatera Tenggara itu 26 persen luasnya dari total wilayah Sumut, sehingga berdasarkan prinsip manajerial, wilayah seluas itu manajemen pemerintahan dengan rentang kendali sejauh itu dimungkinkan kurang efektif. “Semakin sempit yang kita kelola kan semakin fokus,”ujarnya sambil menggambarkan jarak dari Medan ke Padangsidimpuan mencapai 12 jam melalui jalan darat.
Khusus Nias, kata Chaidir Ritonga, manfaat lain, sebagai pulau terluar dalam konteks Hankamnas menjadi prioritas untuk dimekarkan, untuk keutuhan NKRI.“Dari tiga daerah yang diusulkan mekar menjadi provinsi baru di Sumut, selain aspirasi masyarakat, juga ada PP No78 tahun 2007 yang mengkualifikasi.
Kalau dirujuk dariperaturan pemerintah ini, Sumatera Tenggara yang paling layak mekar berdasarkan parameter dalam kaitan IpoleksosHankam,” ujarnya. Diakuinya, ada orang meniup-niupkan, seolah-olah pemekaran atau pembentukan provinsi baru hanya menciptakan raja-raja kecil atau koruptor-koruptor baru.
“Saya kira, aspirasi itu patut kita dengar, karena memang mungkin beberapa daerah menunjukkan catatan seperti itu.Tatapi jangan karena ulah orang per orang, konsep desentralisasi yang tujuannya mengakselerasi pembangunan dan mendistribusi keuangan, aset dan fiskal, lalu kita abaikan,” katanya.
Chaidir Ritonga juga mendengar kekhawatiran jika daerah pemekaran gagal yang kemudian menjadi beban pemerintah. “Belum ada penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik menyangkut pemekaran yang gagal, khususnya dalam konteks di Sumatera Utara,” ujar kandidat Doktor bidang pemekaran wilayah ini.
Sedangkan Ketua Tim Panitia Pemekaran Sumatera Tenggara tingkat Sumut Hamdani Harahap mengungkapkan,pemekaran Sumatera Tenggara berdasarkan amanah undang-undang dan studi kelayakan berdasarkan kajian akademik. Dia sangat optimis, pemekaran Sumatera Tenggara akan membawa kemaslahatan bagi orang banyak. (irh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar