INFO TABAGSEL.com-Sekali
lagi Solo menjadi sorotan Nasional. Kali ini bukan Jokowi “bintangnya”,
melainkan beberapa teror yang terjadi di Solo belakangan ini. Dimulai
dari peristiwa penembakan Pospam pada malam Kemerdekaan, kemudian
pelemparan granat pada malam takbiran, berlanjut penembakan pos polisi
di Singosaren, yang menelan korban tewas seorang polisi, hingga kemarin
malam terjadi peristiwa baku tembak antara Densus 88 dengan para
tersangka 3 peristiwa teror Solo.
Sebelumnya, pada Jumat malam (31/08/2012), terlah terjadi kontak
senjata antara aparat dari Densus 88 dengan seorang pengendara sepeda
motor di Jalan Veteran, Solo. Dikabarkan, pengendara itu melawan dengan
tembakan, sehingga terjadilah kontak senjata.
3 orang dikabarkan tewas dalam kontak senjata semalam. 2 orang dari
pihak terduga teroris, yang belakangan diketahui bernama Farhan dan
Mukhsin. Dan satu orang lagi yaitu seorang petugas Densus 88 atas nama
Bripda Suherman. Sedangkan 1 orang dari pihak terduga teroris berhasil
diamankan pihak kepolisian.(Detik.com, 01/09/2012).
Adapun perihal motif teror Solo, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, dalam
jumpa pers di aula Mapolresta Surakarta, Sabtu (01/09/2012), menduga
motif balas dendam terhadap polisi di balik teror Solo. Penegakkan
hukum yang selama ini dilakukan oleh polisi, menyebabkan meraka
terganggu. Inilah yang mendasari mereka menembaki para aparat
kepolisian. (Detik.com, 01/09/2012).
Pendapat yang menarik ialah apa yang disampaikan oleh Mardigu, pengamat
terorisme. Menurut Mardigu, aksi para teroris menembaki polisi
sesungguhnya adalah sebuah kode kepada teroris lain. Mereka hendak
menyatakan keberadaan mereka, dan ingin menunjukkan pada teroris
Pamulang dan lain sebagainya bahwa teroris Solo itu masih ada. Dan ini
adalah bagian dari strategi.
Apa yang dikatakan Mardigu ada benarnya. Sebab, ada pembedaan target
dari gerakan teroris belakangan ini. Setelah sebelumnya mereka menyasar
kepentingan asing dan ruang-ruang publik, maka kini para teroris
menyasar aparat kepolisian sebagai terget mereka. Apa yang terjadi di
Solo adalah bukti nyata pembedaan target sasaran mereka.
Tindakan menyasar aparat kepolisian ini, selain ditinjau dari motif
balas dendam dan kode kepada teroris lainnya, juga memiliki motivasi
ingin menunjukkan hegemoni atau kekuatan mereka kepada masyarakat.
Sebab tindakan mereka yang menyasar aparat kepolisian sejatinya adalah
“perang psikologis” terhadap tujuan mereka yang sebenarnya, yaitu
kepentingan asing.
Mereka ingin menunjukkan “kelas” mereka saat ini, dan juga kekuatannya.
Dengan menembaki aparat kepolisian diharapkan muncul stigma betapa
lemahnya aparat kepolisian di hadapan mereka, para pelaku teror.
Sehingga timbullah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat.
Adapun pertanyaan, mengapa yang disasar adalah polisi dan bukan TNI?,
karena selama ini pihak kepolisian-lah, melalui Densus 88-nya, yang
menunjukkan taring memerangi para pelaku teroris di Indonesia.
Sedangkan TNI, setelah berpisah dengan kepolisian, tidak banyak ambil
bagian dalam aksi-aksi pemberantasan pelaku teror. Wajar saja, jika
balas dendam mereka tujukan kepada pihak kepolisian.
Jadi, dengan menyimak berbagai fakta, dari keberanian mereka menyasar
polisi, persenjataan yang mereka gunakan, hingga ketenangan mereka saat
menjalankan teror, bisa dipastikan bahwa kelompok saat ini lebih rapih
dan teroganisir, dibandingkan dengan sebelumnya. Bukan tidak mungkin
teror Solo hanyalah “pemantik” munculnya teror sejenis di Indonesia
terhadap para aparat kepolisian, bahkan publik.
Kini, kita tinggal menunggu kinerja pihak kepolisian, yang diharapkan
cepat mengungkap jaringan pelaku teror Solo hingga ke akar-akarnya.
Sebab, jika benar pendapat Mardigu di atas, yakni sebagai kode, maka
bukan msutahil teror berikutnya akan menyusul di Indonesia, yang
mungkin dilakukan oleh jaringan lainnya.(Komisi Kepolisian Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar