INFO TABAGSEL.com-Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
dalam menerima seluruh keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak
Nihil (SKPN) PT Bank BCA tahun pajak 1999-2003.
"Sehubungan ditingkatkanya sebuah kasus dari tahap penyelidikan dan penyidikan, duduk perkaranya melibatkan mantan Dirjen Pajak dalam hal ini Ketua BPK. KPK menemukan fakta-fakta dan bukti-bukti yang akurat itu lah KPK mengadakan forum ekspose bersama satgas (satuan tugas) penyelidikan, satgas penyidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan saudara HP (Hadi Poernomo) selaku Dirjen Pajak 2002-2004," kata Ketua KPK Abraham Samad dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Pada hari ini tepat pada hari ulang tahun ke-67 Hadi Poernomo. Hari ini Hadi Poernomo juga resmi tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPK sejak 2009 lalu.
Kasus yang menjerat Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasilan badan (PPH) Bank BCA 1999-2003 sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp375 miliar.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
BCA pada 17 Juli 2003 mengajukan surat keberatan pajak sebesar Rp5,7 triliun dari Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) kepada Direktorat PPH Ditjen Pajak.
"Hasilnya 13 Maret 2004 Direktur PPH mengirim surat pengantar risalah keberatan ke Dirjen pajak yang berisikan hasil telaah atau kesimpulan. Hasil telaah yang diberikan Direktur PPH ke Dirjen Pajak berupa kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolah," ungkap Abraham.
Namun satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.
"Di situlah peran Dirjen Pajak saudara HP. Kemudian saudara HP menerbitkan SK Dirjen Pajak yang mengeluarkan surat keputusan surat ketetapan wajib pajak nihil pada 18 Juli 2004 yang memutuskan, menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan terhadap Dirjen. Seharusnya ada waktu supaya Direktur PPH selaku pejabat penelaan pajak untuk menyampaikan kesimpulan yang beda," tambah Abraham.
Menurut KPK, kasus ini berawal dari keanehan pembayaran pajak BCA dengan NPL yang terhitung.
"Berawal dari Non Performance Loan sebesar Rp5,7 triliun yang terutang Rp375miliar, setidaknya negara harus menerima Rp375 miliar tapi tidak jadi, itu menguntungkan pihak lain," ungkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang ikut hadir dalam konferensi pers.
"Sehubungan ditingkatkanya sebuah kasus dari tahap penyelidikan dan penyidikan, duduk perkaranya melibatkan mantan Dirjen Pajak dalam hal ini Ketua BPK. KPK menemukan fakta-fakta dan bukti-bukti yang akurat itu lah KPK mengadakan forum ekspose bersama satgas (satuan tugas) penyelidikan, satgas penyidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan saudara HP (Hadi Poernomo) selaku Dirjen Pajak 2002-2004," kata Ketua KPK Abraham Samad dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Pada hari ini tepat pada hari ulang tahun ke-67 Hadi Poernomo. Hari ini Hadi Poernomo juga resmi tidak lagi menjabat sebagai Ketua BPK sejak 2009 lalu.
Kasus yang menjerat Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasilan badan (PPH) Bank BCA 1999-2003 sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp375 miliar.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
BCA pada 17 Juli 2003 mengajukan surat keberatan pajak sebesar Rp5,7 triliun dari Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) kepada Direktorat PPH Ditjen Pajak.
"Hasilnya 13 Maret 2004 Direktur PPH mengirim surat pengantar risalah keberatan ke Dirjen pajak yang berisikan hasil telaah atau kesimpulan. Hasil telaah yang diberikan Direktur PPH ke Dirjen Pajak berupa kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolah," ungkap Abraham.
Namun satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.
"Di situlah peran Dirjen Pajak saudara HP. Kemudian saudara HP menerbitkan SK Dirjen Pajak yang mengeluarkan surat keputusan surat ketetapan wajib pajak nihil pada 18 Juli 2004 yang memutuskan, menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan terhadap Dirjen. Seharusnya ada waktu supaya Direktur PPH selaku pejabat penelaan pajak untuk menyampaikan kesimpulan yang beda," tambah Abraham.
Menurut KPK, kasus ini berawal dari keanehan pembayaran pajak BCA dengan NPL yang terhitung.
"Berawal dari Non Performance Loan sebesar Rp5,7 triliun yang terutang Rp375miliar, setidaknya negara harus menerima Rp375 miliar tapi tidak jadi, itu menguntungkan pihak lain," ungkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang ikut hadir dalam konferensi pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar