DAFTAR BERITA

Jumat, 03 Agustus 2012

Ramalan Politik Uang dalam Pilkada Kota Padang Sidimpuan 2012

Oleh : Zulprianto Lubis. 
 Sekitar pertengahan Juli 2012 lalu, saya kebetulan membaca di laman Facebook seorang teman sebuah tulisan singkat yang memprediksi kekuatan keuangan sebagian pasangan kandidat Walikota dan Wakil Walikota yang segera berlaga dalam Pilkada Kota Padang Sidimpuan bulan Oktober 2012. Meski belum pasti, tujuh pasangan, baik jalur partai maupun independen, telah mendaftarkan diri ke KPUD kota Padang Sidimpuan dalam rangka Pilkada dimaksud.
Prediksi dalam tulisan pendek itu menempatkan pasangan Dedi Jaminsyah Putra Harahap-Affan Siregar sebagai pasangan terkaya, disusul oleh pasangan Andar Amin- Isnan Nasution di urutan kedua. Ranking tiga dan empat ditempati masing-masing oleh pasangan Chaidir Ritonga-Maragunung dan Rusydi Nasution-Riswan Daulay. Meski barangkali terkesan tidak serius, prediksi tersebut tetap masuk akal dalam beberapa hal, apalagi dikaitkan dengan predikat sumut sebagai ‘semua urusan mesti uang tunai’.

Sekilas, jika melihat latar belakang politik para calon tersebut, sebagian besar dari mereka tidak berasal dari partai politik, tetapi dari (mantan) birokrat. Dengan kata lain, sebagian di antara para kandidat bukanlah politisi, tetapi hendak menjadi pejabat politis. Satu sisi, kenyataan ini semestinya paradoks. "Untungnya’, kasus demikian sudah jamak terjadi di negeri ini.

Kenyataan demikian mengimplikasikan kelemahan dan kemandulan partai politik. Partai tampaknya tidak memilki kader untuk dicalonkan. Atau barangkali persoalannya bukan tidak hanya soal kaderisasi, tetapi soal uang: partai tidak mempunyai kader yang berduit. Akibatnya, banyak partai yang mencalonkan non-kader dengan kompensasi tertentu. Bagi partai politik, bahkan yang tidak memiliki kursi di dewan sekali pun, kompensasi tersebut bisa menjadi uang masuk. Kesan yang muncul kemudian adalah partai politik ibarat kendaraan yang bisa dibeli dan ditebeng siapa saja yang mampu bayar ‘ongkos’. Ini menjadi satu alasan kenapa partai politik di negeri ini tidak pernah kuat dan bermartabat. Namun, calon dari parpol juga belum tentu seorang politisi yang ulung dan luhung.

Saya ingin mengulas lebih lanjut tentang pemeringkatan-tak-resmi yang disinggung di awal. Bukan hal baru jika dalam budaya Batak, proteksi keluarga atas anak laki-laki sangatlah kental. Banyak ungkapan yang membenarkan pernyataan ini. ‘Anakki do harajaon di au’ (Anakku adalah raja bagiku), ‘dongan samudar’ (teman sedarah), atau ‘Dongan samarga, dongan sabutuha’ (teman semarga, teman berbagi) adalah sebagian di antara ungkapan sistem kekerabatan yang berurat berakar tersebut. Persoalannya adalah proteksi keluarga demikian sering sekali berbau negatif dan memunculkan praktek kolusi korupsi dan nepotisme (KKN). Adalah rahasia umum dan lumrah terdengar di kota Padang Sidimpuan, misalnya, para orang tua mau merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah agar anaknya diterima menjadi calon PNS.

Unsur proteksi keluarga ini juga menjadi titik tolak dari prediksi di atas. Dasar perankingan tersebut dilakukan menurut latar belakang keluarga, tepatnya kekayaan atau modal yang dimiliki oleh setiap pasangan dan keluarga di belakangnya. Dedi Jaminsyah Putra Harahap, misalnya, adalah putra dari Rahudman Harahap yang dulu pernah jadi Sekdakab Tapanuli Selatan dan sekarang Walikota Medan. Demikian juga dengan Andar Amin, yang beberapa waktu lalu kalah dalam Pilkada Kabupaten Tapanuli Selatan, merupakan putra dari Bahrum Harahap, dulu pernah menjadi ketua DPRD Kabupaten Tapsel dan sekarang Bupati Padang Lawas Utara (Paluta). Tidak heran, jika banyak pihak, termasuk masyarakat awam, beranggapan jika para orangtua itu hendak membangun dinasti.

Lebih jauh, prediksi kekuatan keuangan Pilkada tersebut tentu mengimplikasikan kemampuan para kandidat dalam melakukan praktek politik uang (money politics) yang pada gilirannya akan mengantarkan pasangan yang bersangkutan duduk di tahta kemenangan. Siapa yang mampu bayar lebih tinggi, dialah yang akan menang. Pilkada pun nantinya diprediksi hanya sekedar transaksi jual beli suara antara konstituen dan kontestan. Tidak ada proses demokrasi sehat sedikit pun. Oleh karena itu, gerakan untuk menentang money politics mesti disegarkan kembali.

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh pemilih? Pertama, belanja kampanye (spending budget) para calon mesti dibatasi dan diawasi. Dengan demikian, para kandidat hanya memiliki kekuatan finansial yang sama untuk ‘berbelanja’ kebutuhan dan keinginan politiknya. Keadaan demikian sejatinya akan mengkondisikan para pemilih untuk merubah pikiran kepada faktor lain sebagai dasar menetapkan pilihan, selain besaran politik uang. Di sinilah peran pengawas Pemilu, baik Panwaslu atau organisasi independen, menjadi sangat kritikal, yakni untuk memastikan jika para kontestan tidak mengeluarkan biaya kampanye lebih dari anggaran yang ditetapkan.

Kedua, sejalan dengan poin pertama, para kandidat sebaliknya akan bekerja dan bertarung keras untuk mengkampanyekan program-program kerjanya (proker) kepada dan menyerap aspirasi dari masyarakat dengan berbagai cara atau media, termasuk kampanye langsung. Kampanye demikian memberikan kesempatan para pemilih untuk berinteraksi langsung dengan para kandidat dan menilai, bahkan menguji secara subjektif kualitas pribadi setiap calon seperti soal otak, ketulusan dan kesungguhan mereka kelak mengurus rakyatnya jika terpilih. Selain itu, perbaikan-perbaikan sistemik yang hendak ditempuh para calon juga bisa diamati dari proker-proker yang ditawarkan. Yang lebih penting lagi adalah pembuatan semacam kontrak politik antara kandidat dengan para pemilih.

Ketiga, faktor terakhir dan terpenting terletak pada kecerdasan pemilih. Saya berpendapat praktek Pilkada yang jujur dan demokratis hanya mungkin tercapai jika dan hanya jika pemilih menggunakan hak pilihnya dengan cerdas. Rakyat harus sadar dan disadarkan jika jual beli suara sebagai salah dan sesat, bahkan haram. Praktek politik uang sekedar memuaskan nafsu instan. Para kandidat barangkali mampu menyogok pemilih hingga ratusan ribu. Namun, perlu diingat, setelah mereka menang, mereka balik ‘mengekploitasi’ rakyatnya selama lima tahun berikutnya dengan berbagai proyek yang tidak pro rakyat. Sebab, bisa saja para pemimpin yang terpilih dengan praktek suap menganggap bahwa rakyat sudah mereka bayar sebelum menjabat dan tidak ada alasan untuk berpihak kepada mereka setelah menjabat.

Tentu saja, mengharapkan kesadaran politik demikian dari rakyat bukan perkara mudah. Sebab, praktek politik uang dan KKN yang meluas telah melahirkan sikap permisif di kalangan masyarakat luas. Namun perlu diingat, praktek politik uang yang sudah menjadi biasa dan bahkan menjadi budaya tidak menjadikannya menjadi benar. Rakyat harus kritis: apakah mau menukarkan sedikit uang ‘haram’ dan sebagai kompensasinya akan dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki niat dan semangat melayani rakyatnya.***

Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang dan saat ini dosen tamu pada Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan.

Tidak ada komentar: