Pemerintah Indonesia mengirim nota protes kepada Pemerintah Australia dan Amerika Serikat serta meminta penjelasan tentang rencana pembangunan pangkalan militer AS di Australia.
Pangkalan militer AS yang akan dibangun kabarnya akan ditempatkan di Pulau Cocos, yang hanya berjarak sekitar 3.000 kilometer sebelah barat daya Jakarta.
Menurut rencana, Amerika Serikat akan menempatkan pesawat-pesawat intai tak berawak di pangkalan itu.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Hartind Asrin mengatakan, untuk menghindari kesalahpahaman, sebaiknya Pemerintah Australia dan AS segera menjelaskan tujuan pembangunan pangkalan itu.
"Secara prinsip Indonesia tidak memiliki wewenang untuk ikut campur dalam rencana mereka. Namun, kami meminta mereka menjelaskan tujuan menempatkan pesawat tak berawak dekat wilayah Indonesia," kata Asrin seperti dikutip Reuters.
Asrin menambahkan, upaya untuk memperjelas masalah ini didasarkan pada keinginan menjaga hubungan baik dan rasa saling percaya antara Indonesia, Australia, dan AS.
"Tujuan utama kami adalah menghindarkan adanya salah paham dan salah kalkulasi di lapangan," ujar dia.
Secara prinsip Indonesia
tidak memiliki wewenang untuk ikut campur dalam rencana mereka. Namun,
kami meminta mereka menjelaskan tujuan menempatkan pesawat tak berawak
dekat wilayah Indonesia.
-- Brigjen Hartind Asrin
Namun, rencana ini tidak menjadi perhatian utama dan tidak menjadi bagian rencana besar penguatan hubungan militer antara Canberra dan Washington.
"Kami menilai Cocos sebagai lokasi yang bernilai strategis untuk jangka panjang," kata Smith.
Sementara itu, harian The Washington Post menyatakan, Amerika Serikat tertarik menggunakan Pulau Cocos sebagai pangkalan pesawat-pesawat intai dalam melakukan pengawasan di Kepulauan Spratly yang diperebutkan sejumlah negara.
Menurut Washington Post, Amerika Serikat menilai Pulau Cocos tak hanya ideal untuk pangkalan pesawat-pesawat tempur berawak, tetapi juga untuk pesawat-pesawat tak berawak yang dikenal dengan nama Global Hawk.
Apalagi, Angkatan Laut AS kini tengah mengembangkan Global Hawk model terbaru yang disebut pesawat intai kawasan maritim luas (BAMS) yang dijadwalkan beroperasi pada 2015.
Keuntungan AS
Kementerian Pertahanan Indonesia belum menganggap pesawat-pesawat intai itu merupakan ancaman bagi keamanan Indonesia.
"Namun, jika kami mendapati satu pesawat itu memasuki wilayah Indonesia tanpa izin, angkatan udara kami akan melakukan pencegatan," tutur Asrin.
Namun, pengamat masalah militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, mengatakan, Amerika Serikat sudah merencanakan penguatan pengaruh mereka di Asia Pasifik sejak lama.
Itulah sebabnya Amerika Serikat mendirikan pangkalan-pangkalan militer di Guam, Darwin, dan Singapura.
"Tak bisa dihindari lagi wilayah Indonesia akan dimasuki karena pesawat-pesawat pengintai AS ini sangat sulit dilacak dan mereka memiliki kemampuan melakukan pengintaian tanpa henti," kata Andi.
Dia menambahkan, AS memiliki keuntungan hukum jika suatu saat mereka melintasi wilayah Indonesia karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Kondisi ini memungkinkan AS menembus wilayah abu-abu Indonesia, seperti Kepulauan Natuna, yang berdekatan dengan lokasi Kepulauan Spratly.