INFO TABAGSEL.com-Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar mengatakan, pencantuman agama dalam elektronik kartu tanda penduduk atau e-KTP penting, karena selain fungsi pelayanan dari pemerintah dapat dimaksimalkan, juga dapat mencegah perkawinan campuran beda agama.
“Pencantuman agama dalam e-KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan diskriminasi bagi agama-agama di luar Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu,” kata Wamenag kepada pers seusai upacara hari amal bakti (HAB) Kementerian Agama ke-68 di Jakarta, Jumat (03/01).
Menurut Wamenag, penghapusan agama dalam e-KTP lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dari sisi undang-undang perkawinan saja misalnya, jika seorang muslim tidak mengetahui agama yang dianut calon isteri kemudian menikah, perkawinannya menurut fikih tidak sah. Bahkan anak yang lahir dari buah perkawinan itu disebut anak zina.
Jika dipaksakan tidak mencantumkan agama dalam e-KTP, menurut Wamenag, bisa menabrak aturan dan undang-undang lainnya. Belum lagi terkait masalah hak perlindungan dan hak asuh anak. Seorang anak muslim harus diasuh pula oleh keluarga yang menganut agama yang sama.
Sebagaimana diketahui dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (RUU Adminduk) yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 telah disetujui DPR-RI pada rapat paripurna, 26 November 2013 lalu. Dalam UU Adminduk ini disebutkan ,setiap warga harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui pemerintah, menurut Kementerian Agama adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Wamenag mengatakan, pencantuman agama dalam e-KTP jangan dimaknai sebagai menghalangi warga untuk melaksanakan agama dan ibadahnya. Justru jika dihilangkan bisa menimbulkan kekacauan hukum, hak orang lain diabaikan.
Senada dengan itu, Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat menyatakan, justru dengan mencantumkan agama dalam e-KTP fungsi pelayanan agama dari pemerintah dapat maksimal. Khususnya bagi umat Islam, seperti dalam mengurus perkawinan, kelahiran dan kematian. Termasuk pula bagi pemerintah ketika memberikan remisi bagi narapidana, yang biasanya diberikan saat hari besar agama, seperti Idul Adha dan Natal.
Doa Berbayar
Pada kesempatan itu Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar juga ikut angkat bicara mengomentari soal doa berbayar yang belakangan ini ramai dibicarakan publik. Menurutnya, praktek seperti itu sama halnya dengan pembodohan masyarakat dan diharapkan segera dihentikan.
“Praktek seperti itu sebetulnya sudah tercium cukup lama, tetapi baru terungkap sekarang,” kata Nasaruddin Umar.
Wamenag mengaku prihatin soal doa berbayar itu, yang jika seseorang doanya ingin dikabul harus melalui perantara dan membayar kepada pihak lain. Terlebih bayarannya pun harus ditransfer. “Kita tak kenal konsepnya seperti apa, tapi saya imbau kepada masyarakat untuk menghindari cara seperti itu,” harapnya.
Wamenag secara tegas meminta, janganlah ada pembodohan masyarakat dengan jaminan bahwa doanya akan terkabul. Ia menyebutkan, berdoa erat kaitannya dengan tingkat keikhlasan seseorang. Bisa jadi doa seseorang dapat dikabulkan Allah lantaran yang bersangkutan melakukannya dengan kesungguhan secara mendalam. Cara berdoa yang dilakukan sesuai tuntunan agama jelas bakal diridlai Allah.
“Praktek berdoa berbayar jelas berpotensi sebagai penipuan,” Wamenag mengingatkan.
Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini ramai diberitakan bahwa perencana keuangan dan dewan pembina komunitas @SedekahHarian, Ahmad Gozali menawarkan program sedekah harian dengan cara memberi kesempatan donatur menitipkan doa kepadanya yang sedang berada di Tanah Suci untuk didoakan secara khusus di tempat dan waktu yang khusus pula.
Meski Ahmad Gozali telah mengakui ada kesalahan dalam mencantumkan harga bagi yang ingin menitipkan doa, tetapi berbagai pihak mengecam bahwa perbuatan tersebut sebagai penipuan.
(Humas Kemenag/ES)
“Pencantuman agama dalam e-KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan diskriminasi bagi agama-agama di luar Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu,” kata Wamenag kepada pers seusai upacara hari amal bakti (HAB) Kementerian Agama ke-68 di Jakarta, Jumat (03/01).
Menurut Wamenag, penghapusan agama dalam e-KTP lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dari sisi undang-undang perkawinan saja misalnya, jika seorang muslim tidak mengetahui agama yang dianut calon isteri kemudian menikah, perkawinannya menurut fikih tidak sah. Bahkan anak yang lahir dari buah perkawinan itu disebut anak zina.
Jika dipaksakan tidak mencantumkan agama dalam e-KTP, menurut Wamenag, bisa menabrak aturan dan undang-undang lainnya. Belum lagi terkait masalah hak perlindungan dan hak asuh anak. Seorang anak muslim harus diasuh pula oleh keluarga yang menganut agama yang sama.
Sebagaimana diketahui dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (RUU Adminduk) yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 telah disetujui DPR-RI pada rapat paripurna, 26 November 2013 lalu. Dalam UU Adminduk ini disebutkan ,setiap warga harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui pemerintah, menurut Kementerian Agama adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Wamenag mengatakan, pencantuman agama dalam e-KTP jangan dimaknai sebagai menghalangi warga untuk melaksanakan agama dan ibadahnya. Justru jika dihilangkan bisa menimbulkan kekacauan hukum, hak orang lain diabaikan.
Senada dengan itu, Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat menyatakan, justru dengan mencantumkan agama dalam e-KTP fungsi pelayanan agama dari pemerintah dapat maksimal. Khususnya bagi umat Islam, seperti dalam mengurus perkawinan, kelahiran dan kematian. Termasuk pula bagi pemerintah ketika memberikan remisi bagi narapidana, yang biasanya diberikan saat hari besar agama, seperti Idul Adha dan Natal.
Doa Berbayar
Pada kesempatan itu Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar juga ikut angkat bicara mengomentari soal doa berbayar yang belakangan ini ramai dibicarakan publik. Menurutnya, praktek seperti itu sama halnya dengan pembodohan masyarakat dan diharapkan segera dihentikan.
“Praktek seperti itu sebetulnya sudah tercium cukup lama, tetapi baru terungkap sekarang,” kata Nasaruddin Umar.
Wamenag mengaku prihatin soal doa berbayar itu, yang jika seseorang doanya ingin dikabul harus melalui perantara dan membayar kepada pihak lain. Terlebih bayarannya pun harus ditransfer. “Kita tak kenal konsepnya seperti apa, tapi saya imbau kepada masyarakat untuk menghindari cara seperti itu,” harapnya.
Wamenag secara tegas meminta, janganlah ada pembodohan masyarakat dengan jaminan bahwa doanya akan terkabul. Ia menyebutkan, berdoa erat kaitannya dengan tingkat keikhlasan seseorang. Bisa jadi doa seseorang dapat dikabulkan Allah lantaran yang bersangkutan melakukannya dengan kesungguhan secara mendalam. Cara berdoa yang dilakukan sesuai tuntunan agama jelas bakal diridlai Allah.
“Praktek berdoa berbayar jelas berpotensi sebagai penipuan,” Wamenag mengingatkan.
Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini ramai diberitakan bahwa perencana keuangan dan dewan pembina komunitas @SedekahHarian, Ahmad Gozali menawarkan program sedekah harian dengan cara memberi kesempatan donatur menitipkan doa kepadanya yang sedang berada di Tanah Suci untuk didoakan secara khusus di tempat dan waktu yang khusus pula.
Meski Ahmad Gozali telah mengakui ada kesalahan dalam mencantumkan harga bagi yang ingin menitipkan doa, tetapi berbagai pihak mengecam bahwa perbuatan tersebut sebagai penipuan.
(Humas Kemenag/ES)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar