DAFTAR BERITA

Selasa, 13 November 2012

Komisioner Tinggi HAM PBB Kunjungi MK

INFO TABAGSEL.com-Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Navanethem Pillay bersama Hanny Megally dan Matilda Bogner dengan didampingi perwakilan dari Kementerian Luar Negeri RI berkunjung ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/11) di Ruang Delegasi Ketua MK.

Rombongan tersebut, diterima oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Selain itu, tampak pula Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Kasianur Sidauruk.

Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan tentang beberapa hal, khususnya terkait perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia. Navanethem, mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mahfud dan para hakim konstitusi lainnya. Pertanyaannya, antara lain tentang kebebasan berpendapat, berekspresi, memeluk agama, serta implementasi instrumen HAM dalam putusan MK.

Sodiki kemudian memberikan beberapa penjelasan atas pertanyaan itu, khususnya terkait kebebasan memeluk agama. Dia menjelaskan, kehidupan beragama di Indonesia secara flosofis dilandasi oleh Pancasila, yakni sebagaimana dirumuskan dalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara sekuler, namun bukan pula negara teokrasi. “Ini adalah kesepakatan bersama,” ungkapnya.
Mahfud pun menambahkan bahwa posisi agama, di Indonesia, merupakan sebagai spirit atau nilai-nilai luhur yang menjiwai pelaksanaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, ajaran agama tertentu, bukanlah sebagai basis ideologi negara.
Pada dasarnya, kata Sodiki, negara tidak campur tangan dalam urusan beragama warga negaranya. Namun, jika terjadi konflik antar pemeluk agama, maka negara akan turun tangan. Bukan pula untuk membela salah satu, melainkan mengambil posisi netral untuk memberikan perlindungan kepada seluruh pemeluk agama. Peran negara adalah untuk menjaga agar kondisi stabil dan damai. “Jika ada gesekan-gesekan, maka negara turut campur tangan,” tuturnya.
Seluruh warga negara bebas melaksanakan ajaran agamanya. “Begitupula dalam menyebarkan ajaran agamanya masing-masing,” papar Sodiki. Bahkan, kata dia, karena sangat plural dan tolerannya kehidupan beragama di Indonesia, seringkali perayaan hari besar agama tertentu, dirayakan pula oleh pemeluk agama lainnya. Setidaknya, dalam bentuk saling mengucapkan selamat dan saling membantu dalam kegiatan perayaan. “Tidak ada perbedaan (baca: diskriminasi, pen) antara pemeluk agama mayoritas dengan minoritas,” timpal Hamdan.

Oleh karena itu, ujar Sodiki, sebenarnya jika terjadi konflik antar pemeluk agama, hal itu lebih disebabkan karena kekurangpahaman pemeluk agama tersebut. Jadi, bukan karena aturan ataupun intimidasi oleh negara pada kelompok tertentu. Yang ada malah, kata Mahfud, aturan tentang penodaan agama di Indonesia bertujuan untuk menjamin perlindungan bagi pemeluk agama tertentu agar agamanya tidak dihina atau dinodai oleh pihak lain. Sehingga, meskipun bebas berkeyakinan dan berekspresi, tetap dalam batasan tidak boleh menghina ajaran agama atau keyakinan orang lain.
Pandangan itupun kemudian diamini oleh Navanethem. Menurutnya, aturan internasional pun menyatakan seperti itu. Bahwa pada prinsipnya, kebebasan berekspresi tidaklah mutlak atau absolut. Sehingga, jika ada persoalan hukum terkait hal itu, sebenarnya diserahkan kepada hakim masing-masing negara berdasarkan pertimbangan hukum dan kondisi sosial negaranya untuk memutuskan yang terbaik dan adil.

Berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi, lanjut Sodiki, sejak era reformasi sangatlah terbuka lebar. Baik pers maupun masyarakat umum sangat dilindungi dalam mengemukakan pendapatnya ataupun mengkritisi jalannya pemerintahan. Terkait hal ini, kata dia, ada putusan MK yang pada intinya membatalkan kewenangan kejaksaan untuk melarang buku atau barang cetakan tertentu untuk beredar di masyarakat. Pertimbangan MK saat itu, salah satunya, pelarangan haruslah melalui proses hukum yang benar dan adil, disertai dengan alasan yang jelas. “Dulu ada pembredelan tanpa alasan jelas,” tegasnya.

Diakhir pertemuan, Mahfud dan Navanethem, kemudian bertukar bendera serta saling menyerahkan cindera mata. Menurut Navanethem, Indonesia merupakan termasuk negara yang perkembangan demokrasinya tergolong pesat dan bagus. (MK)

Tidak ada komentar: