Ketua PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawangsa |
"Guru masih menempatkan diri sebagai person yang hanya melakukan `transfer of knowledge`. Menganggap, pokoknya tugas saya (sebagai guru) itu menyampaikan pelajaran kepada siswa," katanya di Semarang, Jawa Tengah, Jumat.
Hal tersebut diungkapkan setelah melantik pengurus Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah yang merupakan hasil kerja sama Muslimat NU dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu, guru sekarang tidak lagi melakukan tugas "transfer of attitude" (sikap) untuk membentuk kepribadian dan karakter anak didiknya menjadi "manusia".
"Pokoknya, tugas hari ini mengajar matematika dan biologi sebanyak dua jam pelajaran, selesai. Besok, dua jam pelajaran lagi, selesai. Lalu, bagaimana karakter dan pribadi anak akan terbentuk menjadi seorang `manusia`," katanya.
Ia mengatakan pembentukan karakter dan kepribadian anak-anak saat ini memang tidak "include" (inheren) dan tidak melekat dalam sistem pembelajaran, karena semata-mata lebih mengedepankan alih ilmu pengetahuan.
Akibatnya, kata dia, sekarang ini banyak ditemui aksi kekerasan yang dilakukan kalangan anak-anak dan pelajar, misalnya tawuran yang kian marak dan menjadi potret buruk dunia pendidikan di Indonesia.
"Anak-anak ini semestinya diajarkan sikap, bagaimana menghormati pada yang lebih tua, sementara yang tua menyayangi yang muda. Sedikit sekali sekolah-sekolah yang mengajarkan seperti ini," katanya.
Bagaimana sikap antara murid dan guru atau sikap anak dengan orang tua sangat penting diajarkan, katanya, tetapi sayangnya tidak ditransformasikan dalam pembelajaran di sekolah karena anak-anak hanya dibebani pelajaran.
"Pembelajaran sikap bagi anak-anak bisa dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan di sekolah. Anak-anak harus disiapkan, misalnya, ada jam pelajaran tertentu yang terpaksa ditiadakan karena ada salah satu orang tua siswa yang sakit. Mereka kemudian diajak bersama-sama untuk menjenguk," katanya.
Melalui pembiasaan-pembiasaan semacam itu, kata dia, bisa menumbuhkan empati anak dan mengajari bagaimana menunjukkan saat ada temannya yang terkena musibah, dan sikap itu sebenarnya menjadi bagian dari kearifan lokal.
"Kemudian, kalau ada anak yang makan sambil jalan, guru mengingatkan. Repotnya, kalau gurunya sendiri juga makan sambil jalan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. `Lha` ini sudah berlari semua," kata Khofifah yang juga memimpin Yayasan "Khadijah" Surabaya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar