Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (5/7/2012).(FOTO :KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN) |
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi DP Nababan didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan penyewaan dua pesawat Boeing pada 2006.
Hotasi didakwa bersama-sama mantan anak buahnya, Tony Sudjiarto, melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara sekitar 1 juta dollar AS (Rp 9,3 miliar).
Dakwaan tersebut dibacakan tim jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/7/2012).
Jaksa mendakwa Hotasi dengan dakwaan primer yang memuat Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dakwaan subsider dengan Pasal 3 undang-undang yang sama. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
"Bahwa akibat perbuatan terdakwa, Hotasi Nababan selaku Direktur Utama PT MNA (Merpati Nusantara Airlines) membayarkan security deposit secara cash sebesar 1 juta dollar AS ke rekening kantor Hume Associate PC bukan menggunakan instrumen perbankan yang aman," kata Jaksa Heru Widarmoko membacakan surat dakwaan.
Heru mengatakan, pada 2006, PT MNA yang dilanda krisis merencanakan pengadaan dua pesawat melalui sistem leasing atau sewa. Rencana itu pun dilanjutkan Tony Sudjiarto selaku General Manager Pengadaan Pesawat PT MNA.
Dalam rangka pengadaan itu, MNA mengajukan sejumlah persyaratan tentang pesawat yang akan disewa. Syarat itu antara lain pesawat buatan 1990-1995, dengan 8 kursi bisnis dan 132 kursi kelas ekonomi. Akhirnya, dipilihlah jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500.
Hanya saja, rencana penyewaan dua pesawat itu tidak melalui persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal tersebut dianggap melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Bahwa terdakwa Hotasi selaku dirut wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan," kata Jaksa Heru mengutip bunyi peraturan perundang-undangan tersebut.
Meskipun mengetahui hal itu melanggar aturan, Hotasi tetap melanjutkan rencana pengadaan dua pesawat tersebut. PT MNA pun menerima proposal dari Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG), Washington DC, yang menawarkan dua Boeing, yakni jenis 737-400 dan 737-500.
MNA melalu agennya di Amerika, Naveed Sheed, mendapat informasi bahwa harga Boeing 737-500 buatan tahun 1991 adalah 10,75 juta dollar AS. Sementara harga Boeing 737-400 buatan tahun 1991 adalah 11,5 juta dollar AS. "Sedangkan harga sewanya hanya 150.000 dollar AS per pesawat," ujar Heru.
Kemudian, atas kuasa dari Hotasi, Tony menandatangani kesepakatan tentang syarat-syarat penyewaan dua Boeing tersebut. Salah satu poin kesepakatan PT MNA dengan TALG tersebut mengharuskan PT MNA menyetor dana 1 juta dollar AS dalam bentuk security deposit ke rekening kantor pengacara Hume & Associate.
Namun, diketahui bahwa pesawat Boeing 737-500 yang akan disewa MNA itu masih dimiliki dan dikuasai pihak lain, yaitu East Dover Ltd.
"Karena ternyata belum ada purchase agreement antara TALG dan East Dover," katanya menambahkan.
Meskipun demikian, pada 20 Desember 2006, Hotasi tetap melakukan penandatanganan sewa dengan TALG. Kemudian, Hotasi memerintahkan transfer uang 1 juta dollar AS melalui Bank Mandiri ke rekening pengacara Hume Associates.
Padahal, Hotasi sudah mengetahui ternyata yang dibayarkan ke Hume Associates itu akan digunakan TALG sebagai uang muka pembelian pesawat 737-500 ke East Dover.
Akibat perbuatan Hotasi tersebut, TALG mendapat keuntungan sementara negara merugi 1 juta dollar AS. Atas dakwaan itu, Hotasi dan tim pengacaranya akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan dalam persidangan pekan depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar