panyabungandansekitarnya.blogspot.comGordang Sambilan diperdengarkan pada sambutan perayaan Merdeka 2005
JAKARTA, KOMPAS.com--Seniman asal Mandailing, Sumatera Utara, Herman Rangkuti, mengatakan Gordang Sambilan sudah ada di Kabupaten Mandailing Natal sejak ratusan tahun silam.
"Ada yang mengatakan sudah ada sejak 500 tahun yang lalu," kata Herman saat dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, sebelum agama masuk ke daerah Mandailing pertunjukan Gordang Sambilan dilakukan untuk ritual kepercayaan.
Ia menuturkan, orang-orang pada zaman itu membuat sembilan lubang di tanah, lalu lubang-lubang itu ditutup dengan kulit kerbau agar menghasilkan bunyi-bunyian ketika ditepuk.
"Pada perkembangannya, mereka mengganti tanah dengan kayu. Ada kayu khusus untuk membuat gondang (gendang) karena kalau tidak, bunyi yang dihasilkan nggak bagus," jelasnya.
Musik Gordang Sambilan, lanjut Herman, minimal dimainkan oleh sembilan orang. Alat musik yang dimainkan terdiri atas sembilan gondang, seruling, tiga eneng-eneng, dua gong, sepasang sasayang, dan sebuah mong-mongan.
"Sesuai adat, hanya laki-laki yang boleh memainkan Gordang Sambilan. Tapi kalau sekarang, bila ada perempuan yang berminat, bisa saja," kata Herman, yang kerap diundang ke berbagai daerah untuk memainkan Gordang Sambilan.
Gordang Sambilan yang pada masa lalu merupakan pertunjukan bagi kalangan istana, ia menuturkan, setelah kemerdekaan boleh dipertunjukkan untuk kalangan masyarakat umum.
Sekarang Gondang Sambilan dimainkan untuk upacara pernikahan adat, penyambutan tamu dan hiburan untuk masyarakat di Mandailing.
"Bisa juga untuk mengiringi Tari Tor-Tor. Tapi untuk itu ada musik yang lebih spesifik, Gondang Boru. Gondang Boru hanya untuk mengiringi Tor-Tor dan pencak silat. Tidak bisa untuk yang lain," jelasnya dalam logat Batak kental. "Gordang Sambilan ini unik dan antik. Cuma ada di Mandailing Natal," demikian Herman Rangkuti
JAKARTA, KOMPAS.com--Seniman asal Mandailing, Sumatera Utara, Herman Rangkuti, mengatakan Gordang Sambilan sudah ada di Kabupaten Mandailing Natal sejak ratusan tahun silam.
"Ada yang mengatakan sudah ada sejak 500 tahun yang lalu," kata Herman saat dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, sebelum agama masuk ke daerah Mandailing pertunjukan Gordang Sambilan dilakukan untuk ritual kepercayaan.
Ia menuturkan, orang-orang pada zaman itu membuat sembilan lubang di tanah, lalu lubang-lubang itu ditutup dengan kulit kerbau agar menghasilkan bunyi-bunyian ketika ditepuk.
"Pada perkembangannya, mereka mengganti tanah dengan kayu. Ada kayu khusus untuk membuat gondang (gendang) karena kalau tidak, bunyi yang dihasilkan nggak bagus," jelasnya.
Musik Gordang Sambilan, lanjut Herman, minimal dimainkan oleh sembilan orang. Alat musik yang dimainkan terdiri atas sembilan gondang, seruling, tiga eneng-eneng, dua gong, sepasang sasayang, dan sebuah mong-mongan.
"Sesuai adat, hanya laki-laki yang boleh memainkan Gordang Sambilan. Tapi kalau sekarang, bila ada perempuan yang berminat, bisa saja," kata Herman, yang kerap diundang ke berbagai daerah untuk memainkan Gordang Sambilan.
Gordang Sambilan yang pada masa lalu merupakan pertunjukan bagi kalangan istana, ia menuturkan, setelah kemerdekaan boleh dipertunjukkan untuk kalangan masyarakat umum.
Sekarang Gondang Sambilan dimainkan untuk upacara pernikahan adat, penyambutan tamu dan hiburan untuk masyarakat di Mandailing.
"Bisa juga untuk mengiringi Tari Tor-Tor. Tapi untuk itu ada musik yang lebih spesifik, Gondang Boru. Gondang Boru hanya untuk mengiringi Tor-Tor dan pencak silat. Tidak bisa untuk yang lain," jelasnya dalam logat Batak kental. "Gordang Sambilan ini unik dan antik. Cuma ada di Mandailing Natal," demikian Herman Rangkuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar