DAFTAR BERITA

Rabu, 11 April 2012

Teuku Ardiansyah: Ada Upaya Dekatkan Aceh dengan Jakarta


Jakarta Pemungutan suara di Pilkada Aceh telah selesai dilakukan pada Senin (9/4) kemarin. Nah, di Partai Aceh sendiri terdapat 3 jenderal TNI. Hal itu dinilai sebagai upaya untuk mendekatkan Aceh dengan Jakarta.

"Ada banyak motivasi dalam konstelasi politik. Ada dua istilah yang bisa dipakai, satu, bina hubungan, dua, kendalikan. Jadi konteksnya bantu Partai Aceh kemudian ajukan proposal ketika mereka sudah menang," kata pemerhati politik Aceh, Teuku Ardiansyah.

Menurut dia, bentuk proposal dari para mantan TNI yang paling realistis adalah kepentingan 2014. Siapa pun partai yang di tingkat nasional nanti membutuhkan kursi DPR dari Aceh, maka akan berhubungan dengan Partai Aceh. Sebab partai ini adalah partai mayoritas.

"Jadi ini adalah pola relasi yang praktis jangka pendek di 2012. Di sisi lain keterlibatan para jenderal ini menjadi bagian dari kondisi besar yang sedang berkembang di Indonesia. Ada upaya untuk 'mendekatkan' Aceh dan Jakarta dalam pelbagai aspek," terangnya.

Ardiansyah berpendapat, jika Partai Aceh yang mendominasi DPRA dan menjadi pemimpin di tingkat eksekutif maka pemerintah hubungannya hanya dengan Partai Aceh. Jadi pemerintah pusat tidak ingin berhubungan dengan banyak kelompok.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Ardiansyah, Senin (9/4/2012):

Bagaimana Anda melihat hasil hitung cepat lembaga survei terkait pilkada Aceh?

Yang pasti ini sebuah proses yang masih dini dikatakan sebagai sebuah kemenangan akhir. Tapi sebagai proses penghitungan cepat saya melihat ini sebagai hasil faktual sebagai kondisi sebenarnya di lapangan.

Angka perolehan yang kabarnya di atas 50 persen menurut saya fakta di lapangan memang berbicara seperti itu. Nanti butuh verifikasi saja dengan data yang dikeluarkan KIP—Komite Independen Pemantau Pemilu Aceh.

Mengapa incumbent bisa di bawah pasangan Partai Aceh?

Kalau melihat basis perolehan suara Irwandi pada pilkada 2006, dia berhasil meraih 38 persen dari 1,9 juta pemilih. Sekarang kabarnya dia mendapatkan suara sekitar 34 persen dari 3,2 juta pemilih.

Kalau dikomparasikan sebenarnya angka pemilih Irwandi masih cukup konstan. Persentasenya tidak terlalu jauh. Artinya di satu sisi sebenarnya Irwandi masih mampu mengelola para pemilihnya di Pilkada sebelumnya, meskipun grafiknya sedikit menurun.

Kedua, dari mana massa yang diperoleh Zaini? Ini bisa dilihat dari pengalaman pada 2006. Kandidat yang didukung oleh kekuatan mayoritas Partai Aceh namanya Humam Hamid. Ia mendapatkan 24 persen. Jadi itu modal suara kandidat PA hari ini.

Dari suara non Irwandi yang pada 2006 diperebutkan kandidat lain. Suara ini mampu dikonsolidasikan oleh PA. Mengacu lembaga survei perolehan 3 kandidat lain di bawah 10 persen. Ini yang mendongkrak kemenangan PA sampai 50 persen.

Mengapa calon Zaini-Muzakkir bisa meraih suara signifikan?

PA pada proses pemilukada ini solid, dalam pengertian punya struktur tersendiri. Mereka berhasil menggusur orang-orang yang berafiliasi pada Irwandi. Kedua, jargon dan kontain kampanye yang disampaikan masih berkaitan dengan masa lalu Aceh.

Soal keuangan dan perimbangan, bicara soal Aceh yang makmur dan sejahtera. Serta menggunakan istilah-istilah lokal yang kemudian menjadi harapan bagi masyarakat Aceh. Sementara Irwandi hanya berkutat pada isu jaminan kesehatan dan beasiswa.

Ketiga, secara pararel sedang diselenggarakan pilkada bupati dan wali kota. Secara formal kandidat PA di tingkatan ini juga bekerja untuk memenangkan Zaini-Muzakkir. Sementara Irwandi tak jelas hubungannya dengan kandidat independen di kabupaten/kota. Jadi lebih banyak pengaruh-pengaruh ini ketimbang sosok Zaini dan Muzakkir.

Kalau keterlibatan tiga purnawirawan jenderal dalam PA?

Ada banyak motivasi dalam konstelasi politik. Ada dua istilah yang bisa dipakai satu bina hubungan, dua kendalikan. Jadi konteksnya bantu Partai Aceh kemudian ajukan proposal ketika mereka sudah menang.

Apa bentuk proposal dari para mantan TNI ini yang paling realistis adalah kepentingan 2014. Siapa pun partai yang di tingkat nasional nanti membutuhkan kursi DPR dari Aceh akan berhubungan dengan Partai Aceh. Karena mereka adalah partai mayoritas.

Jadi ini adalah pola relasi yang praktis jangka pendek di 2012. Di sisi lain keterlibatan para jenderal ini menjadi bagian dari kondisi besar yang sedang berkembang di Indonesia. Ada upaya untuk 'mendekatkan' Aceh dan Jakarta dalam pelbagai aspek.

Kalau Partai Aceh yang mendominasi DPRA dan menjadi pemimpin di tingkat eksekutif maka pemerintah hubungannya hanya dengan Partai Aceh. Jadi pemerintah pusat tidak ingin berhubungan dengan banyak kelompok.

Karena itu para jenderal ini mungkin punya peran di masa depan. Tak hanya mantan jenderal ada juga mantan gubernur yang juga membantu PA yaitu Abdullah Puteh. Yang menarik Puteh tak punya hubungan yang harmonis dengan jenderal M Jahja. Jahja, mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer Iskandar Muda ketika Aceh saat itu sedang berlangsung status darurat militer.

Purnawirawan bekerja sendiri atau ada kekuatan parpol?

Djali Yusuf terakhir tercatat sebagai staf khusus Presiden bidang komunikasi dan politik. Artinya beliau ring satu di Cikeas. Soenarko latar belakangnya dianggap dekat dengan Prabowo. Kalau Jahja masih gelap karena latar belakangnya di intelijen.

Namun apakah ini bisa dikatakan mewakili kekuatan parpol? Menurut saya belum. Dalam arti belum diinstruksikan oleh parpol di Jakarta untuk melakukan infiltrasi. Tapi ini akan menjadi awalan untuk membangun hubungan dengan parpol tersebut.

Dalam kata lain mereka sengaja mendekat ke Partai Aceh agar dipinang parpol nasional untuk 2014.

Masa depan Partai Aceh ke depan?

Sebagai sebuah partai mereka mendominasi hampir semua kabupaten. Beban besarnya mengendalikan gerbong-gerbong besar. Artinya orang-orang yang terlibat di Partai Aceh dituntut keseriusannya dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

Ini persis seperti Partai Demokrat. Terlalu besar. Pasti kemudian gerakannya agak sulit. Tantangannya mereka harus menyiapkan sumber daya untuk menjaga kebesaran itu. Karena jika kebesaran itu hancur. Ini menjadi alasan kegagalan perdamaian di Aceh.

Kemungkinan merangkul eks GAM lain?

Sebenarnya sebagai sebuah upaya untuk membangun sebuah rekonsiliasi berkelanjutan tidak hanya antara GAM dan pemerintah Indonesia tetapi juga antar GAM. Maka PA harus terus mengelola dan menjalin hubungan antar mereka.

Kalau tidak akan ada konflik laten yang terus bertumbuh dan berkembang. Tapi saya agak khawatir dengan perkembangan terakhir di Aceh. Peluang untuk itu sangat kecil dan terbatas. Irwandi dalam waktu dekat akan membentuk partai lokal lain.

Walaupun itu sebagai hak politik. Ini akan membuat tambah besarnya gap. Kalau dulu lawan Aceh adalah Jakarta. Sekarang lawan itu ada di sini. Artinya konflik yang tidak selesai karena pilkada. Pasti ada 'musuh' di tingkat lokal.

Kalau seperti ini yang diuntungkan pemerintah pusat. Pusat akan mampu mengendalikan siapa pun yang berkonflik di Aceh. Soal kekerasan sebelum pilkada, tugas pemerintah Aceh ke depan mengungkap dan memberi kepastian pada para.

Pasti harus ada pengungkapan kasus. Benarkah yang diungkapkan Presiden bahwa kekerasan jelang pemilukada berkaitan dengan politik. Kalau memang dalam konteks politik siapa pun yang menang artinya tidak lepas dari kekerasan politik.

Ini butuh pengungkapan yang serius. Tidak bisa kemudian didiamkan. Siapa yang berpotensi jadi pelaku, ya semua kontestan politik.

Tidak ada komentar: