KOMPAS/RADITYA MAHENDRA YASA
Ilustrasi: Herta (37), guru honorer, mengajar murid-muridnya di
SD Nyaliyan 04, Kota Semarang, Kamis (23/2). Karena honornya hanya Rp
150.000 sebulan, Herta terpaksa membuka jasa perbaikan komputer setelah
mengajar untuk menutup biaya hidup.
KOMPAS.com - Kisah Oemar Bakrie, sosok guru dalam lagu yang dinyanyikan Iwan Fals, rasanya masih lebih baik dari kisah yang dialami Nurul Huda (46). Setidaknya, Oemar Bakrie dikisahkan dalam lagu sudah mendapat jaminan sebagai pegawai negeri meskipun gajinya seperti dikebiri.
Ibu guru Nurul sudah 25 tahun menjadi guru honorer dan guru bantu namun belum juga diangkat sebagai pegawai negeri. Bahkan, tiga bulan terakhir ia belum juga menerima honornya.
Dalam lagu itu pula, Oemar Bakrie masih bisa pulang naik sepeda kumbang. Namun Ibu Guru Nurul yang mengajar di SD Negeri 1 Sidodadi, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) itu terpaksa hidup terpisah dari keluarganya di Palembang, Sumsel dan baru bisa bersua sebulan sekali karena tempat mengajarnya yang berjarak sekitar 100 kilometer dari rumahnya.
Untuk mencapai daerah tempatnya mengajar, Nurul harus naik kapal cepat (speedboat) yang hanya berangkat sehari sekali dari Palembang. Perjalanan kapal itu ditempuh sekitar empat jam sehingga tak mungkin Nurul pulang tiap hari. Apalagi, tarif kapal cepat sebesar Rp 140.000 pulang pergi dermaga Benteng Kuto Besak Palembang-Dermaga Jalur 27, Kecamatan Air Sugihan, OKI membuatnya berpikir panjang untuk sering-sering pulang.
Honornya sebagai guru bantu pada 2011 yang hanya Rp 1 juta sebulan itu sudah sangat terbatas untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya yang sudah duduk di bangku SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
"Bagi saya tarif pulang pergi cukup mahal, jadi tak mungkin saya pulang sering-sering," katanya ditemui di rumahnya di sebuah lorong kecil di Palembang, Sabtu (3/3). Nurul menjadi guru bantu di SD Negeri 1 Sidodadi, Air Sugihan, OKI berdasarkan surat keputusan (SK) sejak Januari 2004. Sejak tahun 1987 hingga 2003 ia telah berpindah-pindah mengajar sebagai guru honorer di empat SD dan satu TK di Palembang.
Beberapakali ia mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) di berbagai kabupaten di Sumsel namun tak berhasil juga. Akhirnya, ia lolos sebagai guru bantu dengan SK yang berlaku selama setahun. SK habis masa berlaku Pada Desember 2011, SK pengangkatannya sebagai duru bantu telah berakhir masa berlakunya. Namun hingga Maret ini belum ada pembaharuan. Akibatnya, statusnya kini tak jelas.
Honor tiga bulan pun tak jua ia terima. Nasib ini juga dialami 599 guru bantu lain di Sumsel. Kendati demikian, ia tetap bekerja. "Sekolah masih membutuhkan guru," kata guru yang mengampu sebagai guru kelas dua itu.
Ia mengenang, awalnya sempat berkecil hati melihat desa terpencil tempatnya ditempatkan. Jalan desa masih berupa tanah dan berlumpur saat hujan. Belum lagi cerita-cerita masih banyaknya gajah liar sempat membuatnya nyaris patah semangat. Namun, delapan tahun berlalu, ia justru semakin membaur dengan masyarakat yang sebagian besar transmigran dari Jawa tersebut.
"Mereka menerima saya dengan baik," ucapnya. Di Kecamatan Air Sugihan itu, Nurul tinggal di Desa Nusakarta yang jaraknya masih 4 Km dari sekolahnya. Di sana ia menempati ruang belakang bangunan kantor Partai Kebangkitan Bangsa yang sudah jarang terpakai.
Ia mendapat izin dari kepala desa setempat untuk menggunakan bangunan tanpa perlu membayar sewa sehingga tak menambah pengeluarannya. Ruangan tempatnya tidur, memasak, dan beraktivitas seharian itu sungguh bersahaja. Ruang berukuran sekitar 2x4 meter persegi itu masih berlantai tanah. Atapnya dari daun nipah yang sering bocor saat hujan.
Di sanalah ia tinggal seorang diri. Menjelang tengah malam, penerangan minim karena listrik diesel hanya menyala sampai pukul 22.00. Ia hanya menggunakan lampu minyak untuk penerangan sekedarnya. "Kalau takut, saya tidur di tempat tetangga sebelah," tuturnya.
Dari tempatnya tinggal itu, perempuan lulusan Sekolah Pendidikan Guru Kayu Agung, Kabupaten OKI, itu berangkat ke sekolahnya dengan naik sepeda motor. Selama mengajar di sana, tak sekalipun kaki Nurul mengenal sepatu "cantik" seperti ibu-ibu guru di sinetron. Ia selalu menggunakan sepatu bot untuk menghadapi jalanan yang kerap berlumpur.
Di sekolah, ia berganti dengan sandal. Berbagai pengalaman ia alami di desa itu. Tak terhitung lagi berapa kali ia jatuh dari sepeda motor karena terpeleset di jalanan yang berlumpur.
"Saya pernah jatuh tak bisa bangun karena tubuh saya tertimpa sepeda motor sampai berbaring di jalan hampir satu jam karena tak ada juga orang lewat yang bisa dimintai bantuan. Pernah juga saya masuk parit penuh air karena terpeleset lumpur.
Jalan kaki sampai 2 Km karena lumpur terlalu parah sehingga tak bisa dilewati sepeda motor pun sudah pernah," tuturnya.
Jika diukur dengan pendapatannya sebagai guru bantu apalagi honornya yang saat ini tak jelas itu, semua kesulitan itu seolah tak cukup berharga untuk dijalani. Untuk kehidupannya sehari-hari saja, pendapatannya sudah sangat terbatas.
Harga bensin di daerahnya mengajarnya itu mencapai Rp 9.000 per liter karena bensin harus diangkut dari kota yang cukup jauh jaraknya.
Di luar honornya sebesar Rp 1 juta, ia hanya menerima tunjangan fungsional yang turun enam bulan sekali dengan besaran tak tentu. Tunjangan terakhir yang ia terima tahun 2011 sebesar Rp 1,7 juta. Di luar itu, tak ada tambahan sama sekali.
"Tunjangan hari raya pun kami ini tak pernah dapat," katanya. Pekerjaan sampingan seperti memberi les atau mengajar sekolah lain pun tak ada di kawasan pedesaan itu.
Pendapatan Nurul yang amat minim membuatnya kesulitan mengembangkan kompetensi seperti membeli buku tambahan maupun sekolah lagi.
Untuk kebutuhan dan biaya sekolah anak-naka di Palembang dan Jakarta, pendapatan suaminya Ardani (52) yang bekerja sebagai PNS di bagian perlengkapan Dinas Perkebunan Sumsel menjadi sandaran utama. Nurul menjalani panggilannya sebagai pengajar sambil terus berharap dapat diangkat menjadi PNS.
Salah satunya tentu untuk meningkatkan kesejahteraan dan jaminan di masa pensiun. Saat ini, perempuan satu cucu itu adalah satu-satunya guru bantu yang belum diangkat di Kecamatan Air Sugihan, OKI. Awal tahun 2012 ia berangkat ke Jakarta bersama Forum Komunikasi Guru Bantu Sumsel untuk mengadukan permasalahannya pada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Kami mendesak Pak Presiden SBY agar segera menandatangani rancangan peraturan pemerintah pengangkatan guru bantu menjadi PNS agar nasib kami tak terkatung-katung lagi seperti sekarang ini. Saya berharap SK PNs yang keluar, tak berharap lagi SK guru bantu diperpanjang," ucapnya.
Ribuan guru memprihatinkan Ketua Umum Forum Komunikasi Guru Bantu Sumatera Selatan Syahrial (43) mengatakan, saat ini masih ada 599 guru bantu dan sekitar 14.000 guru honorer di Sumsel. Kondisi mereka memprihatinkan karena rendahnya pendapatan.
Honor guru bantu saat lancar besarnya Rp 1 juta sebulan sedang guru honorer bervariasi antara Rp 75.000 sampai Rp 300.000. Imbalan mereka ini masih di bawah upah minimum regional Sumsel 2012 yang besarnya Rp 1.195.200 sebulan. Adapun pendapatan guru PNS minimal Rp 1,5 juta dan bisa di atas Rp 2,5 juta sebulan.
"Saya benar-benar berharap pemerintah terbuka mata hatinya melihat kondisi para guru bantu dan honorer ini. Pengabdian mereka luar biasa, tapi seolah tak ada penghargaan dari pemerintah," katanya.
Menurut Syahrial, sekitar 7.000 guru bantu dan honorer di Sumsel sebenarnya sudah memenuhi syarat pengangkatan sebagai PNS. Kuncinya adalah kesediaan Presiden SBY untuk menandatangai rancangan peraturan pemerintah soal pengangkatan guru bantu dan honorer menjadi PNS.
Kisah Nurul hanyalah satu dari kisah getir ribuan guru bantu dan honorer di negeri ini. Entah sampai kapan. (Irene Sarwindaningrum)