INFO PALUTA.com- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru menimbulkan banyak permasalahan. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, dalam implementasinya, SKB tersebut menimbulkan kekacauan, ketidakharmonisan di antara guru dan banyak guru kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut tunjangan sertifikasinya.
Menurutnya, ada sejumlah dampak negatif yang merugikan guru dan siswa akibat pelaksanaan SKB 5 Menteri. Ada pun, dampak nyata dalam penerapan SKB tersebut, di antaranya, mengabaikan peningkatan mutu pendidikan. Seorang guru, jelasnya, harus mengajar (tatap muka) minimal 24 jam dan maksimal 40 jam. Menurut FSGI, hal ini terjadi akibat rumus yang ditetapkan dalam lampiran SKB 5 Menteri yang memperhitungkan pembulatan ke bawah.
Akibatnya, terjadi "pertikaian" horizontal di lapangan akibat perebutan jam mengajar. Pembulatan ke bawah mengakibatkan banyak guru PNS yang tidak memperoleh 24 jam di tempatnya bertugas. Dampaknya, kata Retno, para guru jadi saling serang dan menganggap guru lainnya sebagai ancaman.
"Para guru yang kekurangan jam tidak menerima kebijakan tersebut dan kemudian melawan. Kondisi sekolah menjadi tidak harmonis, terlebih dasar pembagian jam juga banyak tidak merujuk pada ketentuan SKB 5 Menteri. Pembagian lebih didasarkan pada senioritas bukan kompetensi dan kinerja atau prestasi," kata Retno kepada para wartawan, di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Selasa (13/3/2012).
Ia melanjutkan, SKB 5 Menteri juga memicu mutasi guru nasional secara besar-besaran. Setidaknya, kata Retno, SKB tersebut berpeluang memutasi 20-50 persen guru PNS di sekolah negeri. Perkiraan itu didasarkan pada SKB yang menentukan rumus perhitungan kebutuhan guru jenjang SMA.
Selanjutnya, SKB 5 Menteri dituding akan menyingkirkan guru PNS junior dan seluruh guru honorer di sekolah negeri. Selain itu, FSGI juga menilai, ketentuan SKB 5 Menteri tentang waktu tatap muka untuk sekolah lain (75 persen) dan untuk sekolah induk (25 persen) berakibat pada pemborosan energi, tidak fokusnya guru dalam memberikan materi, menghambat karir, serta mengganggu perekonomian guru.
"Dalam pelaksanaannya, tugas tatap muka memerlukan waktu, tenaga, biaya, dan energi yang cukup besar. Dengan perkiraan mengajar di dua sampai empat sekolah, maka waktu guru banyak tersita dalam perjalanan menuju sekolah dan membuat guru tidak fokus mengajar," ujarnya.
Ia melanjutkan, hal yang dinilai lebih miris adalah ketika SKB tersebut mendiskriminasikan anak bangsa dan guru berdasarkan status ekonomi atau pun jabatan di sekolah.
Dalam SKB ini, para guru PNS yang kekurangan jam mengajar (belum 24 jam) hanya diperbolehkan menutupi kekurangan jamnya dengan mengajar di sekolah negeri. Sementara, guru yang memiliki tugas tambahan menjadi staf, wali kelas, pembina, dan piket sama sekali tidak memperoleh penghargaan (dalam bentuk jam). Sehingga, memaksa mereka memenuhi kewajiban tatap muka minimal 24 jam.
"Ketentuan ini menghilangkan hak anak-anak miskin untuk memperoleh pembelajaran dari guru yang sudah disertifikasi. Mengapa harus ada dikotomi antara siswa sekolah swasta dan negeri? Seharusnya tugas tambahan itu dihargai, jika tidak berarti itu diskriminasi," ungkapnya.
Dampak negatif lainnya, dalam catatan FSGI, adalah hilangnya waktu bagi para guru untuk membaca dan menulis. Hal itu dianggap bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan mutu peserta didik.
"Belum disiapkannya infrastruktur pendukung juga memicu kekacauan implementasi," kata Retno.
Seperti diberitakan, pada 3 Oktober 2011 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menandatangani SKB 5 Menteri bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama. SKB ini berisi kesepakatan untuk kerjasama dan memberikan dukungan dalam hal pemantauan, evaluasi, dan kebijakan penataan serta pemerataan guru secara nasional.
DOWNLOAD SKB 5 MENTERI