DAFTAR BERITA

Rabu, 11 Januari 2012

8000 WARGA PALUTA DI REGISTER 40 TERANCAM PERTUMPAHAN DARAH SAAT EKSEKUSI

Medan, (Analisa). Komisi A DPRD Sumut mengigatkan semua pihak agar jangan memaksakan kehendak dalam mengeksekusi lahan Register 40 seluas 47 ribu hek-tar di Kabupaten Paluta (Padang Lawas Utara). Jika pemerintah tetap ngotot memaksakan eksekusi, Paluta terancam jadi "lautan darah", karena akan terjadi konflik fisik yang sangat besar antara pekerja perusahaan, masyarakat sekitar dengan pihak yang mengeksekusi.
Hal itu disampaikan anggota Komisi A DPRD Sumut H Ahmad Ikhyar Hasibuan, SE kepada wartawan, Jumat (6/1) di DPRD Sumut menanggapi tuntutan pengunjuk rasa yang mendesak Pemprovsu maupun Kejatisu untuk segera mengeksekusi lahan Register 40 Paluta (dulu Tapsel), karena kasusnya sudah berkekuatan tetap, 4 tahun diputus MA (Mahkamah Agung).

"Untuk kondisi sekarang di lapangan yang masih terjadi kontra produktif, hendaknya jangan dulu dilakukan ekse-kusi, sebab kita kuatir akan mendatangkan malapetaka besar, yakni konflik fisik antara ribuan karyawan PT Torganda maupun Koperasi Bukit Hara-pan dengan pihak pelaksana eksekusi, sebab karyawan dan masyarakat menganggap kehi-dupan dan mata pencaha-riannya sudah terusik," tegas Ikhyar.

Ikhyar bahkan mewanti-wanti semua pihak agar tidak terlalu memaksakan kehendak "megusir" perusahaan "anak negeri" ini keluar dari lahan Register 40 Palas, karena effek-nya sangat berbahaya bagi keamanan dan kenyamanan, sebab jika pemerintah Cq Men-hut tetap ngotot melakukan eksekusi, Paluta akan "berda-rah-darah" dan dikuatirkan bentrok fisiknya lebih dahsyat dari kasus Mesuji dan Bima.

"Kalau sudah terjadi konflik di lapangan, siapa yang akan bertanggung-jawab, sebab yang dihadapi petugas eksekusi merupakan pengusaha besar yang berduit dan memiliki ribuan karyawan dan masya-rakat sekitar yang selama ini sudah menggantungkan hidup-nya di perusahaan tersebut dan tentunya akan mempertahan-kan mati-matian "periuknya"," ujar politisi Partai Demokrat Sumut ini.

Sikap

Berkaitan dengan itu, Ikhyar menyarankan kepada peme-rintah memiliki pertimbangan untuk melakukan eksekusi dan jangan terlalu gegabah meng-ambil sikap, sebab meng-eksekusi lahan membutuhkan biaya yang sangat besar dan be-lum tentu bisa terlaksana de-ngan baik, dikarenakan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan.

"Lagi pula, DL Sitorus sudah dinyatakan bersalah dan sudah menjalani hukumannya, kenapa justru lahan yang sudah ditanaminya dengan kebun kelapa sawit disita. Di sini, kalau pemerintah punya niat baik, seharusnya diberikan hak pengelolaanya kepada DL Sitorus dengan ketentuan seluruh kewajibannya harus diselesaikan kepada Negara, " ujar Ikhyar.

Ikhyar bahkan sangat se-pendapat dengan hasil kese-pakatan DPRD Sumut dan Gubsu semasa dijabat Drs Rudolf Pardede, bahwa lahan Register 40 diberikan penge-lolaanya kepada PT Torganda dengan berbagai kompensasi dan kewajiban yang harus disetor kepada negara, agar pengusaha tidak merasa dizolimi dan karyawan maupun masyarakat sekitar tidak me-rasa terusik kehidupannya.

"Bahkan PT Torganda pada saat itu sudah menyatakan kesiapannya untuk menghu-tankan kembali lahan Register 40, setelah dikelolanya selama satu daur ulang tanam (atau setara dengan 30 tahun), tapi pemerintah kurang bisa me-nerima hasil kesepakatan itu dan tetap ngotot mengusir PT Torganda," ujar Ikhyar sembari menambahkan pemaksaan eksekusi terkesan sarat nuansa politis maupun pesanan yang ingin mengambil-alih lahan Register 40.

Dalam kasus ini, tegas anggota dewan yang ikut dalam tim penyelesaian kasus Register 40 semasa Gubsu dijabat Drs Rudolf Pardede ini, pihaknya mengigatkan Menhut agar jangan mencoba-coba menawarkan lahan Register 40 kepada perusahaan lain, karena akan menimbulkan masalah baru, sebab berdasarkan infor-masi yang masuk ke dewan, ada perusahaan "raksasa" dari Jakarta yang akan "mengambil-alih" lahan, setelah PT Tor-ganda diusir.

"Menhut selaku departemen teknis dalam menyelesaikan masalah ini agar benar-benar bertanggung-jawab dan hasil-nya dapat diterima semua pi-hak. Jangan sampai ada keber-pihakan terutama kepada perusahaan HTI (Hutan Tana-man Industri) atau perusahaan lainnya yang kelihatannya sangat berambisi menguasai Register 40, setelah diekse-kusi," tegas politisi partai.

Menjawab pertanyaan wartawan tentang kehadirannya di gedung DPRD Sumut Kapoldasu mengatakan, ia hanya sekadar memantau pengamanan yang dilakukan personil kepolisian terkait aksi unjuk rasa yang dilakukan ribuan petani di Sumatera Utara.

"Saya sudah intruksikan seluruh anggota dalam melakukan pengamanan untuk bertindak sesuai dengan prosedur tetap (Protap) yang telah digariskan pimpinan Polri. Kami sangat tidak menginginkan terjadi bentrok antara masyarakat dengan aparat kepolisian, seperti yang terjadi di daerah lain baru-baru ini," kata Wisjnu.

Oleh karena itu kepada masyarakat Kapoldasu juga meminta, agar dalam menyampaikan aspirasinya, masyarakat tidak perlu melakukan tindakan yang anarki dan melanggar hukum yang akan berdampak buruk bagi keamanan di Sumut. Sampaikan aspirasi itu dengan santun dan tertib, dan masyarakat jangan mau diprovokasi oleh tindakan oknum yang tidak bertanggung jawab, kata Kapoldasu.

"Kepada unsur pemerintah dalam hal ini Pemprovsu dan DPRD Sumut kami harapkan juga untuk mendengar dan menyerap aspirasi yang disampaikan masyarakat petani. Kesadaran semua pihak sangat kita butuhkan dalam menjaga keharmonisan dan ketertiban di Sumatera Utara," kata Kapoldasu.

Ketika ditanya pendapatnya terkait statement Anggota DPRD Sumut Akhmad Ikhyar Hasibuan yang meminta aparat hukum untuk tidak mengeksekusi register 40 di kabupaten Padang Lawas Utara, karena dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah, karena 8.000 kepala keluarga yang saat ini berada dikawasan itu akan melakukan perlawanan, Kapoldasu mengatakan, itu mungkin dapat dipertimbangkan.

Namun yang harus diketahui, kata Kapoldasu, masalah dieksekusi atau tidak itu adalah wewenangnya pihak kejaksaan sebagai lembaga eksekutor. Pihak kepolisian dalam hal ini hanya membantu dalam sisi pengamanannya saja, tidak lebih dari itu.

"Jadi dieksekusi atau tidak, bukan kewenangan kami. Namun sebaiknya, instansi terkait juga memikirkan dampak negatif positifnya, bila eksekusi tetap dilakukan. Itu juga sudah menjadi pembahasan kami di tingkat Muspida," kata Kapoldasu. (di)



Tidak ada komentar: