INFO TABAGSEL.com-Sidang Paripurna DPR telah menyetujui pembahasan pembentukan 65 daerah otonomi baru, Termasuk Provinsi Sumatera Tenggara namun pemerintah pusat belum tentu mendukungnya menjadi kota atau provinsi baru.
"Presiden tidak harus menyetujuinya," kata pengamat masalah otonomi daerah, I Made Suwandi, yang juga staf pengajar di Institut Pemerintah Dalam Negeri, kepada wartawan , Kamis (24/10) sore.
Menurutnya, apabila Presiden tidak menyetujuinya, maka pembahasan lebih lanjut tentang pembentukan 65 daerah otonomi baru, tidak bisa dilanjutkan.
"Karena jika daerah belum siap, akhirnya hasilnya (pemekaran wilayah) menjadi tidak bagus."
"Jadi, setelah disahkan untuk dibahas, DPR harus menulis surat ke presiden. Silakan pemerintah akan menanggapinya. Kalau Presiden tidak menyetujuinya, ya tidak bisa dilanjutkan," kata Made Suwandi.
Hal ini ditegaskan Made Suwandi menanggapi keputusan Sidang Paripurna DPR pada Kamis (24/10) yang menyetujui pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan 65 daerah otonomi daerah -- yang 19 diantaranya berada di Papua.
RUU ini merupakan inisiatif DPR berdasarkan aspirasi masyarakat yang menuntut pemekaran wilayah di daerahnya.
Pemerintah, menurutnya, akan meneliti sejauhmana kesiapan teknis 65 daerah otonomi daerah itu, termasuk kemampuan keuangan serta batas wilayahnya.
"Karena jika daerah belum siap, akhirnya hasilnya (pemekaran wilayah) menjadi tidak bagus," katanya.
Siap membahas
Sementara, Komisi II DPR menyatakan segera membahas keputusan Badan Legislasi DPR yang menyetujui 65 Daerah Otonomi Baru.
"Kita harap mulai pembahasan selesai reses dengan pemerintah," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Khatibul Umam Wiranu, Kamis siang, seperti dilaporkan Antara.
"DPR lebih menekankan pertimbangan politik, konstituennya, dan pemerintah lebih menyoroti aspek teknisnya, sejauhmana kesiapannya. Tapi kan DPR bisa menekan pemerintah, sehingga ada kompromi politik."
Khatibul mengakui, usulan pemekaran wilayah itu belum tentu bisa dipenuhi atau otomatis menjadi kabupaten/kota atau provinsi baru.
"Hal itu sangat bergantung pada PP 78 tahun 2004 tentang syarat-syarat DOB, dan UU 32 /2004 tentang Pemerintah Daerah," kata politisi Partai Demokrat ini.
Menurutnya, Komisi II DPR akan lebih mengutamakan daerah-daerah yang ada di perbatasan, pulau-pulau terluar yang jangkauannya pelayanan jauh.
Adapun pengamat otonomi daerah, I Made Suwandi mengatakan, walaupun pemerintah akan lebih menekankan aspek teknis kesiapan daerah tersebut, kemungkinan kompromi politik akan ikut mewarnai.
"DPR lebih menekankan pertimbangan politik, konstituennya, dan pemerintah lebih menyoroti aspek teknisnya, sejauhmana kesiapannya. Tapi 'kan DPR bisa menekan pemerintah, sehingga ada kompromi politik," katanya, menganalisa.
Nasib moratorium
Sejak 2009, moratorium pemekaran wilayah telah diberlakukan, walaupun beberapa kali kebobolan oleh tekanan daerah dan DPR yang bersikeras meneruskan pembukaan wilayah administratif baru.
Dalam kasus Papua, menurut lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta, saat ini 33 daerah pemekaran baru menunggu pertimbangan DPR.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunanjar, awal Oktober 2013 lalu, mengatakan, pemekaran tak bisa dihentikan karena dipandang sebagai sarana bagi daerah agar dapat menikmati dana pembangunan yang dikuasai pusat.
Agun menegaskan permohonan pemekaran wilayah tetap akan diproses meski moratorium berlaku.
"Moratorium tidak menghalangi kita untuk meneruskan aspirasi rakyat di daerah," kata Agun.
Temuan Kementrian Dalam Negeri menyebutkan dari 217 Daerah Otonom Baru (DOB), 80 persen di antaranya berkinerja buruk.
Hal ini pula yang ditekankan pengamat otonomi daerah I Made Suwandi. "Di atas 60 persen, hasil pemekaran tidak begitu bagus. Indikasinya? Pelayanan publik di wilayah pemekaran tidak bagus," katanya kepada BBC Indonesia.
Tiga tahun lalu, dalam rapat konsultasi pemerintah dan pimpinan DPR di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pemekaran daerah tidak berjalan seperti yang diharapkan.
"Dalam 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran. 80 Persen mengalami kegagalan," kata Presiden SBY usai rapat konsultasi dengan DPR, pertengahan Juli 2010.
Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, sudah sebanyak 205 daerah dimekarkan dan sebanyak 80 persen daerah pemekaran dianggap gagal.
Laporan lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta juga mengatakan pemekaran wilayah di Papua telah memicu terjadinya konflik baru, sehingga mereka mendesak pemerintah memperketat syarat pemekaran di wilayah tersebut.
"Presiden tidak harus menyetujuinya," kata pengamat masalah otonomi daerah, I Made Suwandi, yang juga staf pengajar di Institut Pemerintah Dalam Negeri, kepada wartawan , Kamis (24/10) sore.
Menurutnya, apabila Presiden tidak menyetujuinya, maka pembahasan lebih lanjut tentang pembentukan 65 daerah otonomi baru, tidak bisa dilanjutkan.
"Karena jika daerah belum siap, akhirnya hasilnya (pemekaran wilayah) menjadi tidak bagus."
"Jadi, setelah disahkan untuk dibahas, DPR harus menulis surat ke presiden. Silakan pemerintah akan menanggapinya. Kalau Presiden tidak menyetujuinya, ya tidak bisa dilanjutkan," kata Made Suwandi.
Hal ini ditegaskan Made Suwandi menanggapi keputusan Sidang Paripurna DPR pada Kamis (24/10) yang menyetujui pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan 65 daerah otonomi daerah -- yang 19 diantaranya berada di Papua.
RUU ini merupakan inisiatif DPR berdasarkan aspirasi masyarakat yang menuntut pemekaran wilayah di daerahnya.
Pemerintah, menurutnya, akan meneliti sejauhmana kesiapan teknis 65 daerah otonomi daerah itu, termasuk kemampuan keuangan serta batas wilayahnya.
"Karena jika daerah belum siap, akhirnya hasilnya (pemekaran wilayah) menjadi tidak bagus," katanya.
Siap membahas
Sementara, Komisi II DPR menyatakan segera membahas keputusan Badan Legislasi DPR yang menyetujui 65 Daerah Otonomi Baru.
"Kita harap mulai pembahasan selesai reses dengan pemerintah," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Khatibul Umam Wiranu, Kamis siang, seperti dilaporkan Antara.
"DPR lebih menekankan pertimbangan politik, konstituennya, dan pemerintah lebih menyoroti aspek teknisnya, sejauhmana kesiapannya. Tapi kan DPR bisa menekan pemerintah, sehingga ada kompromi politik."
Khatibul mengakui, usulan pemekaran wilayah itu belum tentu bisa dipenuhi atau otomatis menjadi kabupaten/kota atau provinsi baru.
"Hal itu sangat bergantung pada PP 78 tahun 2004 tentang syarat-syarat DOB, dan UU 32 /2004 tentang Pemerintah Daerah," kata politisi Partai Demokrat ini.
Menurutnya, Komisi II DPR akan lebih mengutamakan daerah-daerah yang ada di perbatasan, pulau-pulau terluar yang jangkauannya pelayanan jauh.
Adapun pengamat otonomi daerah, I Made Suwandi mengatakan, walaupun pemerintah akan lebih menekankan aspek teknis kesiapan daerah tersebut, kemungkinan kompromi politik akan ikut mewarnai.
"DPR lebih menekankan pertimbangan politik, konstituennya, dan pemerintah lebih menyoroti aspek teknisnya, sejauhmana kesiapannya. Tapi 'kan DPR bisa menekan pemerintah, sehingga ada kompromi politik," katanya, menganalisa.
Nasib moratorium
Sejak 2009, moratorium pemekaran wilayah telah diberlakukan, walaupun beberapa kali kebobolan oleh tekanan daerah dan DPR yang bersikeras meneruskan pembukaan wilayah administratif baru.
Dalam kasus Papua, menurut lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta, saat ini 33 daerah pemekaran baru menunggu pertimbangan DPR.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunanjar, awal Oktober 2013 lalu, mengatakan, pemekaran tak bisa dihentikan karena dipandang sebagai sarana bagi daerah agar dapat menikmati dana pembangunan yang dikuasai pusat.
Agun menegaskan permohonan pemekaran wilayah tetap akan diproses meski moratorium berlaku.
"Moratorium tidak menghalangi kita untuk meneruskan aspirasi rakyat di daerah," kata Agun.
Temuan Kementrian Dalam Negeri menyebutkan dari 217 Daerah Otonom Baru (DOB), 80 persen di antaranya berkinerja buruk.
Hal ini pula yang ditekankan pengamat otonomi daerah I Made Suwandi. "Di atas 60 persen, hasil pemekaran tidak begitu bagus. Indikasinya? Pelayanan publik di wilayah pemekaran tidak bagus," katanya kepada BBC Indonesia.
Tiga tahun lalu, dalam rapat konsultasi pemerintah dan pimpinan DPR di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pemekaran daerah tidak berjalan seperti yang diharapkan.
"Dalam 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran. 80 Persen mengalami kegagalan," kata Presiden SBY usai rapat konsultasi dengan DPR, pertengahan Juli 2010.
Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, sudah sebanyak 205 daerah dimekarkan dan sebanyak 80 persen daerah pemekaran dianggap gagal.
Laporan lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC di Jakarta juga mengatakan pemekaran wilayah di Papua telah memicu terjadinya konflik baru, sehingga mereka mendesak pemerintah memperketat syarat pemekaran di wilayah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar