Oleh Aufrida Wismi Warastri
Suara siamang (Symphalangus syndactylus), kera hitam berlengan panjang, bersahut-sahutan membangunkan saya. Paduan suara indah itu ternyata bertahan berjam-jam hingga tengah hari, dan bakal muncul lagi menjelang sore hingga matahari terbenam.
Saat konflik satwa dan manusia begitu marak terjadi di Sumatera akhir-akhir ini, ratusan kera hitam hidup berdampingan bersama manusia dengan damai di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Setiap hari mereka seperti berpesta sambil menjaga harmoni alam bersama sekitar 30.000 penduduk Sipirok yang hidup bersahaja sebagai petani. ”Mereka seperti itu sejak saya kecil,” tutur Asrul Azis Siregar (43), warga setempat yang memandu saya naik ke Gunung Sibual-buali, Sipirok, pagi itu.
Kami hendak menyaksikan Harette, kawah gunung yang masih aktif. ”Kalau beruntung, kita bisa bertemu satu-dua dari mereka yang turun ke bukit,” kata Azis.
Ternyata hari itu saya tidak berjodoh dengan siamang. Mereka tetap bertahan di balik Gunung Sibual-buali sambil bernyanyi. Tapi saya beruntung mencapai Harette.
Hawa hangat diikuti bau belerang menyergap saat kaki mencapai Harette. Kepenatan berjalan mendaki selama sekitar satu jam langsung hilang begitu mata menyaksikan lumpur yang mendidih, sementara asap mengepul dari lubang-lubang di tanah, kemudian membubung tinggi bersatu dengan awan. Rasanya seperti memiliki sauna alam pribadi.
Harette terletak di Suaka Alam Sibual-buali, persis di belakang Hotel Tor Sibohi Nauli, hotel bintang dua dengan konsep cottage yang merupakan hotel terbaik di Kecamatan Sipirok.
Luasnya sekitar 500 meter persegi dan masih terjaga keaslian alamnya. Hanya satu dua rombongan turis atau peneliti yang datang ke lokasi itu setiap minggunya. Maka, berada di Harette serasa seperti berada di kawah milik pribadi.
Dari lereng gunung, asap Harette terlihat seperti kabut yang naik ke atas bergabung dengan awan. Dari lereng gunung pula, pemandangan alam Kecamatan Sipirok terlihat jelas.
Sawah menghampar menghijau dikelilingi perbukitan Barisan yang masih terjaga hutannya. Hawanya sejuk-dingin sejak pagi hingga menjelang siang dan kembali dingin pada sore hingga pagi hari. Udara bersih dan angin konsisten berembus.
Saya jadi teringat cerita seorang kawan. ”Anak pertama kami lahir setelah kami menginap di Sipirok,” katanya. Saya tertawa waktu itu. Namun, setelah beberapa hari menginap di Sipirok, saya tahu, Sipirok memang sebuah kota kecil yang istimewa.
Sipirok terletak sekitar 385 kilometer dari Kota Medan atau sekitar 30 kilometer dari Kota Padangsidimpuan. Untuk mencapai kota kecil itu diperlukan waktu 10 hingga 12 jam jalan darat dari Medan. Bagi turis asing, Sipirok, khususnya Hotel Tor Sibohi Nauli, adalah tempat singgah mereka dalam perjalanan wisata darat dari Medan ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Namun, melalui jalur udara dari Bandara Polonia, Medan, menuju Bandara Aek Godang di Padangsidimpuan, hanya diperlukan waktu satu jam. Susi Air menyediakan dua-tiga penerbangan ke Aek Godang setiap hari. Perjalanan bisa dilanjutkan melalui darat selama sekitar 40 menit. Sayang, belum ada transportasi umum dari Aek Godang ke Sipirok. Jadi, untuk mencapai Sipirok harus janjian dengan kawan untuk menjemput. Sebenarnya Hotel Tor Sibohi Nauli menyediakan jemputan, tetapi pekan lalu, mereka masih mencari sopir tetap.
Selain memiliki kawah gunung yang aktif, Sipirok juga memiliki Danau Marsabut dan beberapa sumber air panas yang digunakan bebas oleh penduduk untuk aktivitas sehari-hari.
Penduduk juga menghidupi harmoni dengan sesamanya. Meskipun mayoritas penduduk beragama Islam, di Sipirok tercatat pertama kali zending masuk ke Pulau Sumatera, yakni di Desa Parau Sorat, 150 tahun lalu. Di situ pertama kali gereja berdiri. Replika gereja tua itu masih berdiri dan menjadi tempat ibadah bagi sejumlah penduduk yang beragama Kristen. Gereja mungil hidup damai bersama masjid-masjid tua yang banyak terdapat di Sipirok.
Tak heran dari kecamatan yang bentang alamnya indah dan penduduknya hidup dalam harmoni lahir tokoh-tokoh intelektual yang berkiprah baik di Sumatera Utara maupun nasional, dari pengarang zaman Balai Pustaka, Merari Siregar, Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, Hakim Agung Bismar Siregar, hingga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution.
Siapa pun bisa berkeliling kota naik sepeda yang bisa disewa dari Hotel Tor Sibohi atau naik becak motor. Jalanan di kampung cukup baik, tetapi jalan trans-Sumatera yang membelah Sipirok bergelombang. Namun, itu toh tidak mengurangi keindahan Sipirok.
Jangan lupa menyaksikan para perempuan menenun kain khas Tapanuli Selatan dengan alat tenun bukan mesin di Silungkang, Sei Langge, sekitar delapan kilometer dari Hotel Tor Sibohi. Di situlah pakaian dinas pegawai negeri sipil Kabupaten Tapanuli Selatan yang digunakan setiap Kamis diproduksi.
Jika ingin menikmati makan siang khas Sipirok, restoran mungil Siang Malam yang bersih di Kota Sipirok menawarkan menu khasnya yang lezat, yakni daun ubi tumbuk dengan sup kerbau berdaging empuk. Jika ingin menikmati pasar tradisional, bisa masuk ke pekan/pasar di pusat kota yang ramai pada hari Senin dan Kamis.
Penat dengan kehidupan kota yang menyesakkan dan butuh jeda, Sipirok bisa menjadi pilihan.(KOMPAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar