DAFTAR BERITA

Selasa, 29 November 2011

MAKALAH BAHASA

Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu Di Indonesia Dalam Konteks Sistem Pendidikani

QuantcastOleh: Maman S. Mahayana
A. Pendahuluan
[1] Bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Itulah pernyataan butir 8 Keputusan Seksi A dalam Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan yang berlangsung 28 Oktober – 2 November 1954. Keputusan itu secara eksplisit menegaskan kembali bahasa Melayu sebagai asal dan dasar bahasa Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan mengenai “Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu di Indonesia dalam Konteks Sistem Pendidikan” tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari proses perjalanan bahasa Indonesia, sebelum dan sesudah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, saat bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa Indonesia.
Menempatkan sebuah bahasa apapun menjadi salah satu mata pelajaran dalam sistem pendidikan, tentu saja tidak hanya karena pentingnya kedudukan bahasa itu dalam satu komunitas, tetapi juga niscaya didasari tujuan lain yang melatarbelakanginya. Paling tidak, ada empat tujuan yang hendak dicapai ketika sebuah bahasa tertentu dijadikan sebagai mata pelajaran dalam institusi pendidikan. Pertama, untuk tujuan praktis, yaitu sebagai sarana untuk berkomunikasi dalam pergaulan keseharian, [2] mengangkat status sosial, [3] atau bahkan untuk mengejar karier. Kedua, untuk tujuan teoretis yang berkaitan dengan kepentingan ilmu pengetahuan. [4] Ketiga, untuk tujuan pengembangan bahasa itu sendiri, [5] dan keempat untuk tujuan politik atau yang berkaitan dengan soal nasionalisme. [6]
Bahasa Melayu yang mempunyai sejarah panjang sebagai lingua franca di kepulauan Nusantara, dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dalam sistem pendidikan kolonial, juga dengan keempat tujuan itu. [7] Mari kita telusuri perjalanannya.
B. Pembahasan
Ketika dunia persekolahan belum dikenal masyarakat di wilayah Nusantara ini, orang dengan latar belakang etnis lain, pada mulanya belajar bahasa Melayu sekadar untuk tujuan praktis, yaitu agar dapat berkomunikasi, baik dengan penduduk Melayu sendiri, maupun etnis-etnis lain yang non-Melayu. Pandangan ini juga disadari benar oleh orang asing yang datang ke wilayah Nusantara. Para pedagang dan missionaris lebih memilih belajar dan mempelajari bahasa Melayu dari pada bahasa daerah lain, mengingat bahasa Melayu – sebagai lingua franca – sudah dikenal luas penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Sejumlah prasasti dan bukti lain yang menyatakan hal tersebut, tentu dengan mudah dapat kita sebutkan. [8]
Jauh sebelum bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung dan bahasa perniagaan yang penyebarannya telah melewati wilayah Nusantara. Bahkan, orang-orang Portugis yang hendak berniaga, menekankan pentingnya pengetahuan bahasa Melayu jika ingin mencapai hasil yang baik dalam perniagaannya. Bahasa Melayu yang disebutnya sebagai bahasa Latin dari Timur, digunakan untuk kepentingan praktis, yaitu menyampaikan missi agama, perdagangan dan niaga, dan pendidikan yang berhubungan dengan itu. [9]
Menjelang akhir abad ke-16, Jan Huygen van Linschoten selepas kunjungannya ke wilayah Nusantara, menyatakan bahwa bahasa Melayu telah sedemikian masyhurnya di kawasan ini. Lebih daripada itu, bahasa Melayu telah dianggap sebagai bahasa yang sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya dari segala bahasa di Timur. [10] Dalam Itinerario (1596), Linschoten menyatakan, bahwa “yang tidak berbahasa Melayu di Hindia-Belanda, dia tidak bisa turut serta seperti bahasa Perancis untuk kita. [11] Selanjutnya, dikatakan bahwa pada tahun 1596, bahasa Melayu merupakan bahasa hasil ramuan, tetapi pada akhir abad ke-16, bahasa ini telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan. Maka, seperti dikutip A. Teeuw, [12] “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”
Di dalam Gambaran tentang Malaka (Beschrijvinghe van Malakka) pendeta Francois Valentijn [13] yang bertugas di Ambon selama Lebih dari dua windu (1685-1695 dan kembali lagi ke Ambon 1707-1713) mengungkapkan pandangannya tentang bahasa Melayu pada masa itu sebagai berikut:
Bahasa mereka disebut bahasa Melayu… Bahasa ini tidak hanya dipergunakan di daerah mereka, tetapi juga dipergunakan di mana-mana untuk bisa saling mengerti dan untuk dipakai di mana pun di seluruh Hindia, dan di semua negara di Timur, seperti halnya dengan bahasa Perancis atau Latin di Eropa orang yang bisa bahasa itu tidak akan kebingungan karena bahasa ini dikenal sampai dimengerti. Orang yang tidak bisa berbicara bahasa ini akan dianggap sebagai orang Timur yang kurang pendidikan. [14]
Sebelumnya, Valentijn juga mengungkapkan pandangannya yang positif mengenai bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina.” [15] Begitu pentingnya bahasa Melayu di kawasan ini, sehingga—seperti tampak dari pernyataan Valentijn—pujian terhadap bahasa Melayu terkadang terkesan berlebihan. Meskipun demikian, tentu saja pandangan orang-orang asing itu didasarkan pada fakta bahwa dibandingkan dengan bahasa daerah lain yang tersebar di kepulauan Nusantara ini, bahasa Melayu justru sudah begitu dikenal luas, baik oleh penduduk pribumi dari etnis-etnis non-Melayu, maupun orang asing yang datang ke kepulauan ini. Hal itu, dikatakan pula oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen (1845-1851) setelah ia melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa pada tahun 1850.
Bahasa Melayu itu lingua franca seluruh kepulauan Hindia ini, hahasa yang dipakai oleh sekalian orang masuk golongan bermacam-macam bangsa dalam pergaulannya bersama orang Melayu dengan orang Jawa, orang Arab dengan orang Tionghoa, orang Bugis dengan orang Makasar, orang Bali dengan orang Dayak. [16]
Demikianlah, orang asing, dan terutama bangsa Eropa yang datang ke Nusantara, mempelajari bahasa Melayu, pada awalnya lebih menekankan pada tujuan praktis, yaitu sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Di dalam perkembangannya, mengingat bangsa Eropa, khasnya Belanda, mempunyai kepentingan tertentu dalam menjalankan politik kolonial, maka pandangan terhadap hahasa Melayu tidak lagi sekadar untuk berkomunikasi, tetapi untuk melanggengkan kekuasaannya. Atas dasar kenyataan itu, tidak dapat lain, penguasaan bahasa Melayu menjadi salah satu syarat penting bagi pejabat pemerintah yang hendak bertugas di wilayah ini. Dalam hal itulah, kedudukan bahasa Melayu di wilayah Nusantara menjadi makin penting dipelajari. Untuk mewujudkan gagasan itu, Gubernur Jenderal J.J. van Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang dipakai di kepulauan Nusantara. Gagasannya ini tentu saja makin mempercepat penyebaran hahasa Melayu bagi penduduk dan orang-orang asing yang datang ke wilayah ini.
Sementara itu, masuknya pengaruh Islam ke Nusantara, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, menyertakan pula tradisi penulisan huruf Jawi [17] Pegon [18] , atau yang lebih umum dikenal dengan huruf Arab—Melayu. [19] Dalam hal ini, meskipun masyarakat di beberapa daerah, sudah mengenal dan menggunakan huruf daerahnya, mereka menerima juga huruf Arab untuk menulis bahasa daerahnya. Itulah sebabnya, ketika orang-orang Eropa memperkenalkan huruf Latin, huruf-huruf itu tidak serta-merta diterima begitu saja [20] . Bagi orang-orang Eropa, khususnya Belanda, tentu saja penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab menimbulkan masalah tersendiri. Mereka lebih mudah belajar bahasa Melayu dengan huruf Latin daripada dengan huruf Arab. Seperti dikatakan van Ronkel berikut ini: “Berbicara dalam bahasa Melayu merupakan hal biasa bagi kami. …sayangnya orang Belanda yang dapat “membaca” (mengerti huruf Arab) masih sangat langka.” [21] Jadi, saat itu, komunikasi tertulis dalam bahasa Melayu yang dilakukan orang-orang Eropa dengan penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan raja-raja, lebih banyak menggunakan huruf Latin, sebaliknya penduduk pribumi atau bangsawan yang belum dapat mengenal huruf Latin, masih menggunakan Arab-Melayu.
Sesungguhnya, usaha untuk memperkenalkan bahasa Barat (Latin), pada awalnya berkaitan dengan politik bahasa yang dimaksudkan, agar aparat pemerintah kolonial tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Dalam hubungan itulah, maka pada tahun 1818, ditetapkan bahwa salah satu tugas pemerintah Hindia Belanda adalah “Merencanakan langkah yang tepat untuk menyebarluaskan pengetahuan bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa lainnya di antara penduduk bangsa Eropa.” [22] Dua tahun selepas pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816), usaha penyebarluasan huruf Latin dalam bahasa Melayu, diimplementasikan di dalam hampir semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Tujuan lain dari usaha itu adalah sebagai langkah yang mendorong pemutusan bahasa Melayu dari asosiasi pengaruh Islam yang terikat pada pemakaian huruf Arab. [23] Selepas itu, sejumlah peraturan pemerintah menetapkan betapa penting penguasaan bahasa Melayu bagi aparat pemerintah. Hal itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, jika mereka hendak menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Gubernur Jenderal Van der Capel len (1816-1826) misalnya, membuat sejumlah peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan bahasa ambtenar Eropa. Di Sekolah Marine di Semarang (1818), mulai diajarkan bahasa Jawa dan Melayu, di samping bahasa Belanda, Perancis, dan Inggris. Keputusan Gubernemen, 25 Maret 1819, bahkan secara tegas mewajibkan para ambtenar agar mereka dalam waktu setahun harus mampu menyelesaikan pekerjaan mereka tanpa bantuan seorang penerjemah. Bagi asisten-residen, sekretaris dan para pengawas di pemerintahan dalam negeri, dalam waktu dua tahun harus dapat membaca dan mengerti bahasa daerah (termasuk bahasa Melayu).
Kebijaksanaan pemerintah mengenai pentingnya penguasaan bahasa Melayu ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Gubernur Jenderal H. M. de Kock [24] (1826-1830) yang mengeluarkan peraturan No. 16, 14 April 1826, bahwa semua ambtenar sipil dan militer yang bertugas di pos-pos sipil wajib mempelajari buku tata bahasa Melayu dan kamus Melayu karya W. Marsden. [25] Dalam keputusan pemerintah No. 38, 22 November 1827, dinyatakan bahwa kenaikan pangkat di dalam dinas tergantung kepada taraf pengetahuan bahasa Melayu dan Jawa. Kedudukan bahasa Melayu menjadi semakin penting sebagai bahasa administrasi dan birokrasi pemerintahan selepas Gubernur Jenderal D.J. de Eerens (1836-1840) mengeluarkan Keputusan No. 30, 22 Mei 1837. Dinyatakan, bahwa semua permohonan, usul penempatan atau kenaikan pangkat di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri, harus disertai dengan ijazah yang menyatakan penguasaan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) untuk dapat mengungkapkan segala sesuatu dalam bahasa itu dan mampu membaca dan menulis huruf-hurufnya untuk bisa berkorespondensi tentang urusan kedinasan dengan pribumi. [26]
Diterbitkannya sejumlah keputusan atau peraturan pemerintah yang menempatkan penguasaan bahasa Melayu sebagai salah satu syarat penting bagi pegawai pemerintah, tentu saja berdampak sangat luas. Bagi bahasa Melayu itu sendiri, makin mengukuhkan peranannya sebagai bahasa perhubungan, baik sebagai alat berkomunikasi antarpenduduk pribumi yang berlatar belakang etnis non-Melayu, maupun dengan orang asing (Eropa-Belanda). Ia juga makin memperlihatkan prestisenya sebagai bahasa ilmu pengetahuan [27] yang mulai ramai dipelajari dan diteliti orang-orang Eropa dalam berbagai penelitian ilmiah. Bagi pihak pemerintah kolonial Belanda. Peraturan itu memaksa para birokrat Belanda mempelajari bahasa Melayu yang pada gilirannya memudahkan mereka dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi pemerintahannya. Meskipun demikian, di pihak lain, pemerintah juga harus menyediakan guru dan institusi pendidikan. Itulah salah satu alasan perlunya didirikan Akademi Delft. [28] Dalam laporan Menteri Koloni J.C. Baud (1840-1849) kepada Raja, 28 Juni 1842 mengenai keberadaan Akademi Delft sebagai lembaga yang diharapkan dapat mencetak tenaga-tenaga ambtenar Hindia Belanda yang mempunyai pengetahuan bahasa secara baik, ia juga mengungkapkan alasan belum perlunya bahasa Belanda diajarkan bagi penduduk pribumi. Dalam hal tersebut, ia mengingatkan kedudukan pemerintah Belanda dalam melangsungkan kekuasaannya di Hindia sebagai wilayah koloninya. Jika suatu bangsa yang dijajah selalu diajak bicara dalam bahasa asing, mereka akan senantiasa diingatkan akan kedudukannya sebagai bawahan (Historische Nota, 1900: 23). [29]
Di Hindia Belanda sendiri beberapa sekolah gubernemen bagi anak-anak pribumi, baru didirikan pada tahun 1849 dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dan bahasa Melayu sebagai salah satu mata pelajaran. Sementara itu, bahasa Belanda belum diajarkan karena dianggap belum saatnya diberikan kepada anak-anak pribumi. Jika bahasa Belanda diajarkan, ia hanya akan menambah beban pendidikan saja, begitulah gagasan yang dilontarkan Baud. [30] Boleh jadi lantaran itu pula maka Gubernur Jenderal J.J. Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pemerintahan dalam pergaulan dengan kepala-kepala pribumi. Oleh sebab itu pula, bahasa Melayu di sekolah-sekolah pribumi harus menjadi hal (pelajaran) penting, sementara bahasa-bahasa pribumi hanya sekadar tambahan saja. Selanjutnya, van Rochussen mengatakan:
Bahasa Melayu adalah lingua franca di seluruh kepulauan Nusantara, dipakai dalam pergaulan oleh semua orang dari berbagai bangsa. Kebanyakan orang pribumi, terutama orang Jawa, tidak merasa sulit mempelajari bahasa itu dan hampir semua priyayi di Jawa mengerti dan juga menulisnya. [31]
Berdasarkan keputusan Gubernemen, No. 5, 13 Maret 1849, No. 5, dinyatakan perlunya mendirikan sekolah-sekolah pribumi, terutama bagi ambtenar (priyayi) pribumi dengan bahasa pribumi sebagai bahasa pengantarnya, sementara bahasa Melayu menjadi mata pelajaran yang ditulis dengan huruf Arab dan Latin. Kemudian pada tahun 1850 Rochussen menetapkan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah gubernemen bagi anak-anak pribumi.
Bahwa bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar dan ditempatkan sebagai mata pelajaran penting di sekolah-sekolah, tidak hanya makin mengukuhkan keberadaan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan pribumi, tetapi juga pada akhirnya membawa bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di kalangan elite (priyayi) pribumi dan bangsa Eropa, terutama Belanda. Mengenai dampak ditetapkannya bahasa Melayu di sekolah-sekolah gubernemen, Groeneboer mengatakan:
Sebagai akibat dari kurikulum untuk kedinasan di Hindia-Belanda, Bahasa Melayu mencapai kemajuan yang pesat… di luar Jawa dan Madura. bahasa Melayu dipergunakan secara umum sebagai bahasa pemerintahan di dalam kedinasan, di dalam komunikasi dan korespondensi antara amtenar Eropa dan priayi-priayi di daerah, antara oang Eropa dan penduduk pribumi, tetapi juga antara orang Eropa dan amtenar pribumi dan antara kelompok orang Timur-Asing yang berdagang di mana-mana bagian terbesarnya terdiri orang-orang Cina yang lahir di Hindia-Belanda, disebut “peranakan” dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu. [32]
Demikianlah, tidak dapat dihindarkan terjadinya perkembangan bahasa Melayu dalam dua jalur: (1) bahasa Melayu lisan yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari di kalangan priyayi, dan masyarakat luas, termasuk Cina peranakan yang bagi golongan masyarakat ini lazim disebut bahasa Melayu pasar, dan (2) bahasa Melayu yang dipakai dalam dunia persekolahan yang secara taat asas memakai model bahasa Melayu tinggi. [33]
Bersamaan dengan itu, perkenalan dengan alat cetak membuka kemungkinan lain bagi perkembangan bahasa Melayu. Dalam hal ini, tidak dapat diabaikan peran pengelola dan pengusaha percetakan. Terbitnya buku-buku cetak dan lahirnya sejumlah surat kabar berbahasa Melayu memperlihatkan perkembangan bahasa Melayu dalam dua jalur itu, yaitu bahasa Melayu tinggi dan bahasa Melayu pasar. Surat kabar berbahasa Melayu pertama, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, terbit di Surabaya, 12 Januari 1856, memakai bahasa Melayu pasar mengingat sebagian besar isinya berupa iklan-iklan perdagangan yang sasaran pembacanya adalah para pedagang. Perhatikan sebagian keterangan yang menunjukkan isi dan sasaran pembaca surat kabar ini:
Bermoelanja kita mengloearkan kepada orang2 njang soeka batja ini Soerat Kabar, njang bergoena soeda terseboet di dalam Soerat Kabar Oostpost, jaini Soerat Kabar hahasa Melaijoe sanget didjadikan pertolongannja orang berdagang di negrie Djawa soblah timoer. Mangka segala orang berdagang Mang soeka taroh satoe kabar dari dagang atawa beladjar, berseangkat, datang dari pendjoewalan barang, harga oetawa dari lain2 kabar, ija boleh kirim di kantor tjitakan ini soerat di kota Soerabaija. [34]
Perhatikan kutipan di bawah ini yang diambil dari halaman depan surat kabar itu yang memperlihatkan banyaknya salah cetak dan ejaan yang tidak konsisten.
Harganya ini Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dalem satoe taoen poenja moesti di bajar lebih dahoeloe, pada njang kloewarken ini soerat. Harganja kabaran njang 10 perkataan f. 1.- ree selainja zegel. Dan boleh dapet darie E. Fuhri di Soerabaija. [35]
Pilihan pemakaian bahasa Melayu bagi surat kabar, jelas berkaitan dengan tujuan untuk menjangkau sasaran pembaca yang lebih luas. [36] Bahwa bahasa Melayu pasar yang digunakannya, tidak pula berarti ada penafikan terhadap hahasa Melayu tinggi. Masalah pemakaian bahasa Melayu tinggi atau Melayu rendah ini, disadari pula oleh pengelola Soerat Chabar Betawie, terbit setiap hari Sabtu di Betawi, April 1858. Berikut ini dikutip pernyataan mengenai hal tersebut yang terdapat dalam edisi pertama surat kabar itu:
Inie soerat chabar nantie di tjitaq separo dengan hoeroef Walanda, separo dengan hoeroef Malaijoe. Maka bahasanja inie soerat chabar tiada terlaloe tinggi, tetapi tiada lagi terlaloe rindah, soepaija segala orang boleh mengarti, siapa djoega jang mengarti bahasa Malaijoe adanja. Maka barang kali kita masoq-kan soerat pengadjaran maka di sitoe nantie membahasa Malaijoe tinggi, tetapi kita harap nantie menjatakan artienja di dalam hahasa Melaijoe rindah… [37]
Perkembangan bahasa Melayu lewat surat-surat kabar yang kebanyakan memakai bahasa Melayu rendah itu, tak hanya makin meluaskan tradisi penulisan bahasa Melayu, baik dengan huruf Arab—Melayu maupun huruf Latin, tetapi juga menumbuhkan kesadaran pentingnya keseragaman penulisan huruf dan ejaan bahasa Melayu yang standar. [38] Dalam kaitan itulah, pada tahun 1891, A. A. Fokker menganjurkan pemakaian bahasa Melayu—Riau yang dikatakannya:
“… bukan saja sebagai alat peradaban, tetapi juga sebagai bahasa pemersatu pemerintahan di seluruh kepulauan ini…. Akan datang suatu masa, di mana kita dapat memberi sumbangannya, yaitu bahwa setiap orang Pribumi yang telah menamatkan sekolah dasar, akan merasa malu kalau dia tidak mampu berbahasa Melayu—Riau… “ [39]
Kalangan zending dan para pendeta, di antaranya, A. Hueting dan van der Roest, juga cenderung memilih bahasa Melayu-Riau karena dianggap sebagai bahasa Melayu yang baik. “… agar lambat laun bahasa Melayu yang baik, yaitu bahasa Melayu-Riau diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bahasa yang memungkinkan berbagai suku bangsa hidup rukun sebagai saudara dan berunding tanpa cemburu dan iri hati, dan juga dapat menjadi penghubung bagi orang-orang Kristen lainnya di kepulauan ini.‘” [40]
Penempatan bahasa Melayu-Riau sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan, sesungguhnya telah dilakukan jauh sebelum itu, yaitu ketika bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah. Penegasan kembali pemakaian bahasa Melayu Riau itu, semata-mata karena adanya perkembangan bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah yang banyak digunakan dalam surat-surat kabar dan dalam pergaulan sehari-hari. Untuk menghindari terjadinya kekacauan, terutama dalam penulisan huruf dan ejaan, maka diperlukan acuan bahasa Melayu yang baik dan standar yang justru masih terpelihara dalam bahasa Melayu Riau. Penulisan kata Malajoe, misalnya, kadang kala ditulis Melaijoe, Malajoe atau Malaijoe. Keadaan itu tentu saja dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu. Oleh karena itu, sebagai usaha untuk memudahkan pembacaan dan penulisan bahasa Melayu Berta agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka pada tahun 1897, A. A. Fokker mengusulkan penyeragaman bahasa Melayu dengan huruf Latin. Dengan demikian, penyeragaman ini hanya berlaku bagi bahasa Melayu yang menggunakan huruf Latin, dan tidak bahasa Melayu yang menggunakan huruf Arab-Melayu.
Memasuki abad XX, kedudukan bahasa Melayu di semua lapisan masyarakat dan di berbagai bidang kehidupan di Hindia Belanda, sungguh sudah sedemikian kokohnya. Tambahan lagi, tahun 1896, Charles Adrian van Ophuijsen, [41] dibantu Moehammad Ta‘ib Soetan Ibrahim—guru di Kawedanan Oud Agam, asal Kota Gadang— dan Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma‘moer—guru bantu di Sekolah Rajo— menyusun ejaan bahasa Melayu yang standar dan bersumber dari bahasa Melayu klasik yang masih terpelihara. [42] Berkat usaha ketiga orang itulah, tersusun Kitub Logat Melajoe; Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal (Batavia, 1901). [43] Direktur Pendidikan Abendanon, tahun 1902 mewajibkan semua sekolah di Hindia Belanda untuk menggunakan buku ini sebagai pedoman ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Selain mewajibkan semua sekolah, Pemerintah Belanda juga menghimbau penerbit-penerbit swasta, terutama surat-surat kabar, agar memakai ejaan ini. Beberapa ada yang mengikuti himbauan itu dan memakai ejaan van Ophuijsen, tetapi lebih banyak yang tetap memakai bahasa Melayu pasar.
Dengan diberlakukannya ejaan van Ophuijsen di semua sekolah, maka dalam dunia pendidikan itulah bahasa Melayu tinggi menempati kedudukannya yang tetap terpelihara. Keadaan itu didukung pula oleh buku-buku bacaan sekolah yang diterbitkan Commissie voor de Inlandsce School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) yang berdiri 14 September 1908 dan tahun 1917, berganti nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Komisi ini berusaha secara ketat menerbitkan buku-buku bacaan yang isinya tidak hanya harus sejalan dengan politik kolonial Belanda, [44] tetapi juga bahasanya harus taat berpedoman pada ejaan Ophuijsen. Seperti dikatakan Nur Sutan Iskandar, “… Gubernemen Hindia Belanda menghendaki supaja buku-buku batjaan jang akan dikeluarkan Balai Pustaka harus mempergunakan bahasa Melaju Riau, bahasa sekolah, jang telah ditetapkan dalam tahun 1901 itu.” [45]
Sementara itu, terjadinya perubahan politik di negeri Belanda, berpengaruh pula pada kebijaksanaan Belanda di tanah jajahan. [46] Di batik misi memberi kesejahteraan bagi penduduk pribumi di Hindia Belanda, tersimpan politik kebudayaan (politik bahasa) untuk “membelandakan” pola pikir dan perilaku bangsa terjajah. [47] Maka mulailah politik itu dijalankan dengan kembali menekankan pemberian mata pelajaran bahasa Belanda di semua tingkat persekolahan. Bahasa Belanda yang semula diajarkan di sekolah-sekolah gubernemen, kini dicobakan pula di sekolah pribumi di tingkat yang lebih rendah.
Dalam kaitannya dengan usaha “pembelandaan” itu, Belanda melakukan apa yang disebut pendekatan asimilasi atau adaptasi. “Kekuasaan kolonial harus berusaha sekeras mungkin untuk menyamakan penduduk asli, jadi juga harus memberikan perlakuan yang sama seperti yang ada di negara induk. Peradaban “barat” harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa. [48]
Dalam pelaksanaannya, pendekatan asimilasi atau adaptasi dilakukan pemerintah Belanda di Indonesia secara setengah-setengah. Bahasa pengantar dalam pengajaran memang menggunakan bahasa Belanda, tetapi tidak dalam rangka mempersamakan dan memperlakukan penduduk asli seperti yang ada di negara induk (Belanda), malahan tetap dalam usaha memberi keuntungan yang maksimal bagi negara induk.
… sekolah-sekolah sekuler yang dikembangkan pemerintah (kolonial: MSM ) bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melainkan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang berakar pada negeri asal penjajah, baik organisasinya, maupun kurikulumnya. [49]
Yang menonjol dari pendekatan asimilasi atau adaptasi di bidang pengajaran itu adalah usaha menyelusupkan peradaban Barat (:pembelandaan). Usaha pembaratan makin gencar dilakukan melalui pengajaran bahasa Belanda. Dr. G.J. Nieuwenhuis, pakar di bidang pengajaran bahasa ini, menyatakan keyakinannya, bahwa:
…penyebaran bahasa Belanda dan budaya Belanda merupakan cara yang terbaik untuk mengekalkan kepentingan ekonomi ideal kami (Belanda: MSM). [50]
…penjebaran bahasa Belanda di Indonesia ini boekan sadja goenanja oentoek mempertahankan kepentingan negeri Belanda didaerah ini, hal itoe perloe djoega oentoek mengangkat deradjat dan nama Negeri Belanda dinegeri asing…. [51]
Kalau lambat laoen semilioen bangsa Hindia jang terpeladjar pandai berbitjara dan mengerti bahasa kita maka boekoe Belanda, pekerdja Belanda, pikiran Belanda akan tetap mendjalankan pengaroehnja, dan barang-barang Belanda akan tetap lakoe selama waktu djadjahan… [52]
Kalau kita ingin memajukan persatuan Hindia-Belanda, kita harus mulai dari lapisan atas; yaitu para pemimpin, dan kita harus menjadikan satu bahasa sebagai bahasa pengikat yang mewakili kebudayaan internasional, dan itu adalah bahasa Belanda. [53]
Jika saja sejak awalnya pemerintah Belanda tidak melakukan diskriminasi dan mengajarkan bahasa Belanda tidak semata-mata sekadar menciptakan tenaga menengah yang dapat menghubungkan dan menerjemahkan kebijaksanaan pemerintah kepada penduduk pribumi, maka mungkin saja, bagi kalangan tertentu, impian Nieuwenhuis itu, dapat menjadi kenyataan. Sesungguhnya, gagasan ideal Nieuwenhuis itu lebih mudah dijalankan di atas kertas daripada diimplementasikan dalam kehidupan sosio-kultural. Bahkan, sebaliknya usaha pengajaran bahasa Belanda (pembelandaan) dirasakan makin menjauhkan kaum terpelajar bangsa Indonesia dengan rakyatnya.
Berkaitan dengan hal itu, timbul pula kesadaran akan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Dalam kongres kedua Boedi Oetomo (BO), tahun 1909, misalnya, dipilih bahasa Melayu sebagai bahasa bersama dalam rapat-rapat Boedi Oetoemo. Malah Ketua BO, Tirtokoesoemo mengusulkan pemakaian bahasa Melayu, supaya “semua orang Jawa bisa mengerti.” Usul itu didukung pula oleh Kartaatmadja, salah seorang anggota BO, agar seluruh pembicaraan dalam kongres menggunakan bahasa Melayu. [54]
Surya Ningrat, [55] tokoh nasionalis yang kemudian menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat), dalam pidatonya (preadvis) pada Kongres Pendidikan Kolonial tahun 1916, sudah menganjurkan agar bahasa Melayu—yang sudah resmi sebagai bahasa pengantar di semua tingkatan sekolah pribumi—dikembangkan lebih jauh menjadi bahasa persatuan di keputusan Nusantara. Hanya bahasa Melayu, satu-satunya bahasa pribumi yang berpeluang dapat diterima sebagai bahasa komunikasi antar-etnis. Menurut pengakuan Soekarno, sudah sejak muda ia mendukung pentingnya bahasa Melayu. Dalam pertemuan dengan kolompok belajar Tri Koro Darmo di Surabaya, tahun 1917, ia mengatakan: “Saya berpendapat bahwa kita pertama-tama harus mempelajari bahasa kita sendiri…. Marilah kita berkonsentrasi pada kelanjutan hidup bahasa Melayu dan andaikata kita harus mempelajari salah satu bahasa asing, biarlah itu bahasa Inggris, karena sekarang pun bahasa itu telah menjadi bahasa diplomatik. [56]
Pada sidang pertama saat Volksraad dibentuk tahun 1918, Pangeran Achmad Djajadiningrat, mengusulkan agar dalam Peraturan Tata Tertib Volksraad, dicantumkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar resmi yang digunakan dalam sidang-sidang Volksraad, di samping bahasa Belanda. [57] Kemudian, dalam Kongres Pemuda Pertama (Eerste Iticlotiesisch Jeugdcongres) 1926, Muhammad Yamin yang berpidato dalam bahasa Belanda, menyampaikan gagasannya tentang bahasa Melayu sebagai berikut:
Bagi saja sendiri, saja mempoenjai kejakinan, bahwa bahasa Melajoe lambat laoen akan tertoendjoek mendjadi bahasa pergaoelan oemoem ataupoen bahasa persatoean bagi bangsa Indonesia, dan bahwa keboedajaan Indonesia dimasa jang akan datang akan terdjelma dalam hahasa itoe. [58]
Meskipun kongres pemuda pertama itu belum menghasilkan keputusan politik yang penting, embrio tentang tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan sudah mulai wujud. Maka, dalam Kongres Pemuda kedua, di Jakarta, 28 Oktober 1928, diputuskanlah pernyataan politik sebagaimana yang tertuang tiga butir Sumpah Pemuda. [59] Butir ketiga yang berbunyi: “Kami poetra dun poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia” merupakan keputusan politik yang menempatkan bahasa Melayu tidak lagi berada di dalam konteks etnisitas, melainkan dalam kerangka keindonesiaan yang bertanah dan berbangsa (Indonesia).
Demikian, melalui proses yang sangat panjang, kelahiran bahasa Indonesia seperti sudah ditakdirkan harus begitu. Tetapi jelas, kelahirannya tidaklah datang secara tiba-tiba sebagai sesuatu yang datang dari langit. Oleh karena itu, ia tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu yang melatarbelakanginya. Bahasa Indonesia lahir karena ia mempunyai sejarah panjang masa lalu “sesuatu yang logish gevolg (akibat logis) dan logische voortzetting (perkembangan logis) dari masa yang silam.” [60]
Sebagai keputusan politik, niscaya pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia berimplikasi politik. Bagi bangsa Indonesia yang mulai menjalankan kesadaran kebangsaannya, keputusan itu membawa pengaruh positif. Sejak keputusan “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia” hampir semua organisasi pergerakan nasional menyatakan akan menggunakan bahasa Indonesia di dalam persidangan-persidangannya. Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi semacam alat politik untuk membangun persatuan keindonesiaan. Itulah sebabnya, meskipun tidak sedikit tokoh nasionalis Indonesia merasa sudah sangat terbiasa berpikir dalam bahasa Belanda daripada dalam bahasa Indonesia, di dalam forum-forum resmi, mereka tetap memakai bahasa Indonesia.
Demikianlah, sebagai alat politik untuk menumbuhkan kesadaran keindonesiaan, anjuran pemakaian bahasa Indonesia dalam semua organisasi pergerakan, seolah-olah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan organisasi itu. Soekarno, misalnya, dalam “Rantjangan reorganisatie Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Bangsa Indo-nesia (PPPKI) menekankan kembali pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, “…dengan gerakan kebangsaan baroe itoe tersangkoet djuga soal bahasa jang djadi pengikat bangsa-bangsa segolongan itoe. Maka timboellah bahasa persatoean: bahasa Indonesia jang pokoknja diambil dari bahasa Melajoe.” [61]
Dalam dunia persekolahan dan sistem pendidikan, kedudukan bahasa Indonesia masih tetap berada di bawah bayang-bayang bahasa Belanda. Meski begitu, di Sekolah Taman Siswa dan Perguruan Rakyat, pelajaran bahasa Belanda mulai dikurangi, karena dianggap sekadar menambah beban raja. Dalam kaitan itulah, pelajaran bahasa Melayu di kedua sekolah itu serta jumlah jam pengajarannya, ditambah. Salah satu kekurangan yang menonjol dari pengajaran bahasa Indonesia di sekolah waktu itu adalah Iangkanya buku-huku pelajaran bahasa Indonesia yang memadai, dan bukan pelajaran tatabahasa yang disusun orang-orang Belanda. [62] Mengingat pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tatabahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan cenderung menjadi sangat linguistis. [63] Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa. Kondisi itulah yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana. “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” [64]
Di bagian lain, Aisjahbana mengatakan:
Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa!
Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan di sekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah. [65]
Demikian, meski secara politik, boleh dikatakan bahasa Melayu yang kemudian diangkat menjadi bahasa Indonesia memperoleh kemenangan dalam persaingannya dengan bahasa Belanda, perkembangan bahasa Indonesia sendiri, belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Perkembangan bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan dan persekolaha—sebagaimana yang menjadi keprihatinan Alisjahbana—justru cenderung menjauhkan tujuan pengajaran bahasa untuk keterampilan berbahasa. Dalam dunia pers, [66] pemakaian bahasa Melayu rendah—meski sudah dikatakan sebagai bahasa Indonesia—masih sangat menonjol. Demikian juga buku-buku dari penerbit swasta, terutama roman-roman picisan, hampir semuanya menggunakan bahasa Melayu rendah.
Besarnya perhatian terhadap bahasa Indonesia, baik dalam kaitannya dengan rasa nasionalisme, maupun dengan harapan-harapan yang begitu besar terhedap kemajuan bahasa Indonesia sendiri, tampak dengan munculnya gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo, 25-28 Juni 1938. Salah satu tujuan kongres ini adalah mencari pegangan bagi semua pemakai bahasa, mengatur bahasa, dan mengusahakan agar bahasa Indonesia tersebar luas. [67] Dalam kaitan bahasa Indonesia dengan duniit persekolahan dan si stem pendidikan, kongres merekomendasikan agar: (1) di dalam perguruan menengah diajarkan juga ejaan internasional, dan (2) mengangkat sebuah komisi yang bertugas mendirikan Institut Bahasa Indonesia. [68]
Keadaan pengajaran bahasa Indonesia—yang oleh pihak Belanda masih disebut bahasa Melayu—di sekolah-sekolah masih terus seperti itu. Barulah perubahan drastis terjadi setelah kedatangan Jepang ke Indonesia, awal Mara 1942, mengganti kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Berbagai langkah kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang yang segera dijalankan adalah menghapus semua jejak pemerintah Belanda. Di dalamnya, termasuk juga persoalan bahasa. Instruksi dari Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon yang dimuat bersamaan dengan edisi pertama surat kabar Asia Raja—(29 April 1942/2602)  misalnya, jelas merupakan pengumuman pemerintah Jepang, mengenai kebijaksanaan yang akan dijalankan di wilayah Indonesia. Butir keenam dari sepuluh butir maklumat itu berbunyi sebagai berikut: “Nama-nama negeri dan kota diseloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan ke pada zaman pemerintah Belanda almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra‘jat.” Pengumuman sejenis, baik yang menyangkut pemberlakuan kebijaksanaan politik pemerintah pendudukan Jepang, instruksi-instruksi, peraturan-peraturan, maupun rencana perayaan hari-hari tertentu yang dianggap dapat memberi semangat bagi perjuangan bangsa-bangsa Asia (:Jepang), juga kerap kali mengisi lembaran-lembaran halaman surat kabar Asia Raja. [69]
Bagi pemerintah pendudukan Jepang, dalam soal bahasa yang akan digunakan dalam urusan kedinasan, memang tidak ada pilihan lain, selain memilih bahasa Indonesia. Pemerintah Jepang sendiri melarang digunakannya bahasa Belanda, Inggris, atau bahasa negara-negara yang pro-Sekutu. Sementara itu, bahasa Jepang sendiri sama sekali belum dikenal masyarakat Indonesia. Wajarlah jika kemudian pemerintah Jepang menentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang digunakan dalam berbagai urusan, baik kedinasan, maupun urusan lain di luar itu. Langkah pertama yang dilakukan Pemerintah Jepang adalah menerjemahkan buku-buku yang berbahasa pro Sekutu ke dalam bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya bidang peristilahan.

Tidak ada komentar: