INFO TABAGSEL.com-Temuan ICW dan sejumlah jaringan anti korupsi mengungkapkan, beberapa calon legislatif dari hampir semua partai politik diduga melakukan politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara dengan "modus baru" selama kampanye.
Para kandidat tidak semata melakukan dengan cara-cara konvensional, namun juga dengan cara-cara baru yang belum pernah ditemukan dalam pemilu sebelumnya, demikian hasil temuan tersebut.
"Selain dalam bentuk konvensional, yaitu pemberian uang secara langsung terhadap pemilih, juga ada bentuk lain. Misalnya dalam bentuk (pemberian) barang, seperti alat ibadah, sembako, pemberian kupon yang akan diuangkan pasca pemilu," kata koordinator divisi korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (06/04) siang.
Sebagian kandidat caleg dan tim suksesnya, menurut ICW, juga mempraktikan cara baru dalam menggunakan fasilitas negara.
"Jadi pola penggunaan fasilitas negara ini juga berkembang. Bukan hanya (penggunaan) mobil dinas, tapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan pelibatan pegawai negeri untuk mengampanyekan sang kandidat," kata Abdullah.
Dia kemudian mencontohkan tindakan kandidat calon legislatif di salah-satu kabupaten di Sulawesi Tenggara, yang merupakan istri seorang bupati setempat. .
"Mereka menggunakan instrumen birokrasi pemerintahan kabupaten sebagai tim pemenang, dengan cara (meminta) kantor dinas membuat aktivitas kegiatan yang turut mensosialisasikan dan mengkampanyekan kandidat tersebut," kata Abdullah.
Praktik seperti ini ditemukan ICW selama kampanye pemilu legislatif di sejumlah wilayah di 15 provinsi, yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, NTT, NTB, Kalbar, Sulsel, dan Sulteng.
Lima partai besar
Di wilayah tersebut, menurut ICW, ada lima partai politik yang melakukan dugaan pelanggaran terbesar terkait politik uang dan penggunaan fasilitas negara.
Mereka adalah Partai Golkar (23 kasus dugaan pelanggaran), PAN (19 kasus), Partai Demokrat (17 kasus), PDI Perjuangan (13 kasus), PPP (12 kasus), PKS (10 kasus) dan Partai Hanura (9 kasus).
"Jadi hampir sebagian besar parpol melakukan pelanggaran, khususnya money politic dan penyalahgunaan fasilitas maupun jabatan pemerintahan," kata Abdullah.
Adapun terduga pelakunya adalah kandidat calon legislatif itu sendiri dan tim suksesnya, katanya.
Temuan ICW juga mengungkapkan bahwa dugaan pelanggaran politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara itu paling banyak menimpa kandidat caleg untuk wilayah kota atau kabupaten.
"Untuk pencalonan kabupaten/kota ada 66 kasus yang ditemukan, untuk di pemilihan DPR 37 kasus, dan DPR Propinsi 31 kasus, serta DPD 7 kasus," katanya.
"Bisa saja ini berkorelasi dengan bagaimana sempitnya arena pertarungan, sehingga kompetisi makin ketat di situ," katanya, menganalisa mengapa kasus seperti itu banyak menimpa untuk wilayah kota atau kabupaten.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, pihaknya paling banyak menemukan kasus politik uang dan penyalahgunaan fasilitas jabatan di Propinsi Riau jika dibanding 14 propinsi lainnya.
"Di propinsi Riau ada 32 kasus, Sumut 18 kasus, Banten 16 kasus, Sulsel 14 kasus, dan Jabar ada 12 kasus," katanya.
ICW dan jaringan pemantau pemilu yang terlibat dalam penelitian ini telah melaporkan sebagian besar dugaan kasus-kasus ini ke lembaga pemantau pemilu.
"Karena itu kami mendesak instrumen pengawas pemilu untuk menegakan aturan pemilu dan menindaklanjuti temuan kami," kata Abdullah.
Para kandidat tidak semata melakukan dengan cara-cara konvensional, namun juga dengan cara-cara baru yang belum pernah ditemukan dalam pemilu sebelumnya, demikian hasil temuan tersebut.
"Selain dalam bentuk konvensional, yaitu pemberian uang secara langsung terhadap pemilih, juga ada bentuk lain. Misalnya dalam bentuk (pemberian) barang, seperti alat ibadah, sembako, pemberian kupon yang akan diuangkan pasca pemilu," kata koordinator divisi korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (06/04) siang.
Sebagian kandidat caleg dan tim suksesnya, menurut ICW, juga mempraktikan cara baru dalam menggunakan fasilitas negara.
"Jadi pola penggunaan fasilitas negara ini juga berkembang. Bukan hanya (penggunaan) mobil dinas, tapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan pelibatan pegawai negeri untuk mengampanyekan sang kandidat," kata Abdullah.
Dia kemudian mencontohkan tindakan kandidat calon legislatif di salah-satu kabupaten di Sulawesi Tenggara, yang merupakan istri seorang bupati setempat. .
"Mereka menggunakan instrumen birokrasi pemerintahan kabupaten sebagai tim pemenang, dengan cara (meminta) kantor dinas membuat aktivitas kegiatan yang turut mensosialisasikan dan mengkampanyekan kandidat tersebut," kata Abdullah.
Praktik seperti ini ditemukan ICW selama kampanye pemilu legislatif di sejumlah wilayah di 15 provinsi, yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, NTT, NTB, Kalbar, Sulsel, dan Sulteng.
Lima partai besar
Di wilayah tersebut, menurut ICW, ada lima partai politik yang melakukan dugaan pelanggaran terbesar terkait politik uang dan penggunaan fasilitas negara.
Mereka adalah Partai Golkar (23 kasus dugaan pelanggaran), PAN (19 kasus), Partai Demokrat (17 kasus), PDI Perjuangan (13 kasus), PPP (12 kasus), PKS (10 kasus) dan Partai Hanura (9 kasus).
"Jadi hampir sebagian besar parpol melakukan pelanggaran, khususnya money politic dan penyalahgunaan fasilitas maupun jabatan pemerintahan," kata Abdullah.
Adapun terduga pelakunya adalah kandidat calon legislatif itu sendiri dan tim suksesnya, katanya.
Temuan ICW juga mengungkapkan bahwa dugaan pelanggaran politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara itu paling banyak menimpa kandidat caleg untuk wilayah kota atau kabupaten.
"Untuk pencalonan kabupaten/kota ada 66 kasus yang ditemukan, untuk di pemilihan DPR 37 kasus, dan DPR Propinsi 31 kasus, serta DPD 7 kasus," katanya.
"Bisa saja ini berkorelasi dengan bagaimana sempitnya arena pertarungan, sehingga kompetisi makin ketat di situ," katanya, menganalisa mengapa kasus seperti itu banyak menimpa untuk wilayah kota atau kabupaten.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, pihaknya paling banyak menemukan kasus politik uang dan penyalahgunaan fasilitas jabatan di Propinsi Riau jika dibanding 14 propinsi lainnya.
"Di propinsi Riau ada 32 kasus, Sumut 18 kasus, Banten 16 kasus, Sulsel 14 kasus, dan Jabar ada 12 kasus," katanya.
ICW dan jaringan pemantau pemilu yang terlibat dalam penelitian ini telah melaporkan sebagian besar dugaan kasus-kasus ini ke lembaga pemantau pemilu.
"Karena itu kami mendesak instrumen pengawas pemilu untuk menegakan aturan pemilu dan menindaklanjuti temuan kami," kata Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar