INFO TABAGSEL.com-Petani stroberi di Batu, Jawa Timur, mengeluhkan bunga stroberinya mudah rontok karena curah hujan yang tinggi . Akibatnya, produksi turun drastis dibanding tahun lalu. Petani lainnya mengeluhkan akibat yang sama pada sayuran seperti brokoli dan daun bawang prei.
Akibat tingginya intensitas hujan, petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengkhawatirkan padi mereka rusak. Sedang petani cabai merah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mengkhawatirkan musim panen cabai akan terancam serangan hama dan jamur akibat anomali cuaca. Hujan dan rob juga menyebabkan produksi garam di Kabupaten Jepara, Pati dan Rembang, Jawa Tengah, terhambat.
Keluhan dan kekhawatiran para petani tersebut, tidak akan muncul lagi di masa mendatang ketika mereka menjadi nasabah asuransi pertanian. Pemerintah bersama dengan Komisi IV DPR, saat ini sedang membahas dan menyempurnakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam waktu dekat RUU tersebut diharapkan akan disahkan sebagai Undang-Undang.
Draf RUU tersebut, antara lain menyebutkan untuk melindungi petani dari gagal panen akibat kekeringan, banjir ataupun serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), pemerintah akan memberi asuransi pertanian. Tujuannya, menstabilkan pendapatan petani dengan mengurangi kerugian karena kehilangan hasil, merangsang petani mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan sumber daya, mengurangi risiko yang dihadapi lembaga perkreditan pertanian serta meningkatkan akses petani kepada lembaga tersebut.
Uji Coba Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)
Pengembangan asuransi pertanian, selama ini belum dapat diwujudkan meskipun telah mengalami tiga kali (1982, 1984, dan 1985) pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pengembangan Asuransi Panen. Pada tahun 1999, asuransi pertanian dicanangkan kembali. Namun penerapannya memerlukan pertimbangan matang mulai perumusan kebijakan, strategi, program, perintisan, dan instrumen kelembagaan.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa, asuransi pertanian berkembang sangat pesat dan terbukti sangat sukses.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan uji coba Pelaksanaan Asuransi Usaha Tani padi (AUTP), yaitu pada musim tanam di bulan Oktober 2012-Maret 2013 yang dialokasikan pada 3 (tiga) daerah propinsi yaitu, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Selatan, dengan proyeksi areal masing-masing seluas 1.000 ha di lokasi program GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Koorporasi).
Uji coba tersebut juga melibatkan BUMN pertanian, seperti PT Pupuk Indonesia (Persero) serta PT Jasindo sebagai pelaksana asuransi. Dalam rangka kemitraan dengan petani, BUMN telah memfasilitasi pembiayaan pembayaran premi asuransi sebesar 80% (Rp.144.000/ha) sedangkan sisanya sebesar 20% (Rp.36.000/ha) menjadi tanggungan petani.
Data PT Jasindo 2013 menyebutkan uji coba AUTP masih menemui sejumlah kendala, antara lain jumlah realisasi atas cakupan lahan padi yang dapat dilaksanakan oleh PT. Jasindo luasnya hanya 623,12 ha dari proyeksi awal yang direncanakan semula sebesar 3.000 ha dan total premi yang dapat dikumpulkan jauh melampaui target hanya sebesar Rp.112,1 juta.
Pada saat implementasi, luas lahan padi petani yang terkena kerugian panen akibat dampak puso dari ke tiga daerah porpinsi seluruhnya mencapai luas 87,28 ha dengan klaim yang diajukan sebesar Rp.523,7 juta atau 467% dari nilai premi yang terbayarkan.
Dalam hal ini perusahaan asuransi mengalami kerugian, dan berdasarkan pengamatan pihak PT Jasindo disebabkan oleh perhitungan hukum bilangan besar belum terpenuhi (the law of large numbers) dalam uji coba AUTP tersebut. Meskipun terjadi kerugian yang ditanggung oleh pihak asuransi, tetapi tidak menyurutkan rencana pemerintah semula dalam implementasi AUTP ke depan, karena potensi bisnis asuransi pertanian sangat besar prosfektifnya.
Menyiapkan Skim Asuransi Pertanian
AUTP jelas memiliki posisi strategis yang perlu diperhatikan dan mendapatkan dorongan upaya merintis pengembangan asuransi untuk jangka panjang. Namun ada beberapa unsur kunci yang harus dipertimbangkan antara laini:
1. Petani sasaran; dalam kasus usaha tani padi selayaknya tidak dilakukan pemilahan berdasarkan kategori skala usaha, partisipasi dalam lembaga perkreditan, status garapan, dan sebagainya.
2. Cakupan komoditas usaha tani; berpijak pada kondisi yang ada, tampaknya lebih layak mengembangkan asuransi pertanian tidak untuk semua komoditas pertanian tetapi lebih diprioritaskan pada usaha komoditas tertentu utamanya usaha padi.
3. Cakupan asuransi; dalam konteks ini yang utama adalah kaitannya dengan nilai jaminan dan penentuan kerugian, faktor-faktor yang diperhitungkan dalam penilaian jaminan dan penentuan kerugian lazimnya dikaitkan dengan peluang terjadinya klaim dan kesanggupan petani membayar premi atas kompensasi yang dinikmati petani dalam menjalankan usaha tani.
4. Nilai premi dan prosedur pengumpulannya; perlu dipertimbangkan aspek yang mempengaruhi kelayakan finansial asuransi pertanian serta kebijakan pemerintah dalam pengembangan produksi pangan;
5. Mekanisme penyesuaian kerugian; penentuan mekanisme penyesuaian kerugian harus lebih jelas memperhitungkan struktur biaya kelembagaan asuransi pertanian maupun struktur biaya dan resiko usaha tani.
6. Skim pendanaan; modifikasi dan penyempurnaan diperlukan berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan hasil uji coba AUTP di lapangan dengan keunikan sistem asuransi pertanian sebagai acuan dalam skim pendanaan.
7. Komunikasi dengan petani; pengembangan sistem komunikasi perlu memperhatikan kelembagaan lokal, dalam hal ini melibatkan peran PPL (Petugas Penyuluh Lapangan), sangat strategis sebagai upaya pendekatan yang akan ditempuh untuk menjembatani kepentingan pihak asuransi dan petani.
Selain itu, ada faktor yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yakni ketersediaan data yang memadai, ketersediaan personal terlatih serta arus informasi, teknologi, dan gagasan penyempurnaan atas hasil pemantauan. Sehingga diharapkan penyempurnaan pengembangan lembaga asuransi pertanian di Indonesia dalam upaya melindungi usaha petani dapat terwujud sesuai harapan dan keinginan.
Akibat tingginya intensitas hujan, petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengkhawatirkan padi mereka rusak. Sedang petani cabai merah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mengkhawatirkan musim panen cabai akan terancam serangan hama dan jamur akibat anomali cuaca. Hujan dan rob juga menyebabkan produksi garam di Kabupaten Jepara, Pati dan Rembang, Jawa Tengah, terhambat.
Keluhan dan kekhawatiran para petani tersebut, tidak akan muncul lagi di masa mendatang ketika mereka menjadi nasabah asuransi pertanian. Pemerintah bersama dengan Komisi IV DPR, saat ini sedang membahas dan menyempurnakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam waktu dekat RUU tersebut diharapkan akan disahkan sebagai Undang-Undang.
Draf RUU tersebut, antara lain menyebutkan untuk melindungi petani dari gagal panen akibat kekeringan, banjir ataupun serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), pemerintah akan memberi asuransi pertanian. Tujuannya, menstabilkan pendapatan petani dengan mengurangi kerugian karena kehilangan hasil, merangsang petani mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan sumber daya, mengurangi risiko yang dihadapi lembaga perkreditan pertanian serta meningkatkan akses petani kepada lembaga tersebut.
Uji Coba Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)
Pengembangan asuransi pertanian, selama ini belum dapat diwujudkan meskipun telah mengalami tiga kali (1982, 1984, dan 1985) pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pengembangan Asuransi Panen. Pada tahun 1999, asuransi pertanian dicanangkan kembali. Namun penerapannya memerlukan pertimbangan matang mulai perumusan kebijakan, strategi, program, perintisan, dan instrumen kelembagaan.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa, asuransi pertanian berkembang sangat pesat dan terbukti sangat sukses.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan uji coba Pelaksanaan Asuransi Usaha Tani padi (AUTP), yaitu pada musim tanam di bulan Oktober 2012-Maret 2013 yang dialokasikan pada 3 (tiga) daerah propinsi yaitu, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Selatan, dengan proyeksi areal masing-masing seluas 1.000 ha di lokasi program GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Koorporasi).
Uji coba tersebut juga melibatkan BUMN pertanian, seperti PT Pupuk Indonesia (Persero) serta PT Jasindo sebagai pelaksana asuransi. Dalam rangka kemitraan dengan petani, BUMN telah memfasilitasi pembiayaan pembayaran premi asuransi sebesar 80% (Rp.144.000/ha) sedangkan sisanya sebesar 20% (Rp.36.000/ha) menjadi tanggungan petani.
Data PT Jasindo 2013 menyebutkan uji coba AUTP masih menemui sejumlah kendala, antara lain jumlah realisasi atas cakupan lahan padi yang dapat dilaksanakan oleh PT. Jasindo luasnya hanya 623,12 ha dari proyeksi awal yang direncanakan semula sebesar 3.000 ha dan total premi yang dapat dikumpulkan jauh melampaui target hanya sebesar Rp.112,1 juta.
Pada saat implementasi, luas lahan padi petani yang terkena kerugian panen akibat dampak puso dari ke tiga daerah porpinsi seluruhnya mencapai luas 87,28 ha dengan klaim yang diajukan sebesar Rp.523,7 juta atau 467% dari nilai premi yang terbayarkan.
Dalam hal ini perusahaan asuransi mengalami kerugian, dan berdasarkan pengamatan pihak PT Jasindo disebabkan oleh perhitungan hukum bilangan besar belum terpenuhi (the law of large numbers) dalam uji coba AUTP tersebut. Meskipun terjadi kerugian yang ditanggung oleh pihak asuransi, tetapi tidak menyurutkan rencana pemerintah semula dalam implementasi AUTP ke depan, karena potensi bisnis asuransi pertanian sangat besar prosfektifnya.
Menyiapkan Skim Asuransi Pertanian
AUTP jelas memiliki posisi strategis yang perlu diperhatikan dan mendapatkan dorongan upaya merintis pengembangan asuransi untuk jangka panjang. Namun ada beberapa unsur kunci yang harus dipertimbangkan antara laini:
1. Petani sasaran; dalam kasus usaha tani padi selayaknya tidak dilakukan pemilahan berdasarkan kategori skala usaha, partisipasi dalam lembaga perkreditan, status garapan, dan sebagainya.
2. Cakupan komoditas usaha tani; berpijak pada kondisi yang ada, tampaknya lebih layak mengembangkan asuransi pertanian tidak untuk semua komoditas pertanian tetapi lebih diprioritaskan pada usaha komoditas tertentu utamanya usaha padi.
3. Cakupan asuransi; dalam konteks ini yang utama adalah kaitannya dengan nilai jaminan dan penentuan kerugian, faktor-faktor yang diperhitungkan dalam penilaian jaminan dan penentuan kerugian lazimnya dikaitkan dengan peluang terjadinya klaim dan kesanggupan petani membayar premi atas kompensasi yang dinikmati petani dalam menjalankan usaha tani.
4. Nilai premi dan prosedur pengumpulannya; perlu dipertimbangkan aspek yang mempengaruhi kelayakan finansial asuransi pertanian serta kebijakan pemerintah dalam pengembangan produksi pangan;
5. Mekanisme penyesuaian kerugian; penentuan mekanisme penyesuaian kerugian harus lebih jelas memperhitungkan struktur biaya kelembagaan asuransi pertanian maupun struktur biaya dan resiko usaha tani.
6. Skim pendanaan; modifikasi dan penyempurnaan diperlukan berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan hasil uji coba AUTP di lapangan dengan keunikan sistem asuransi pertanian sebagai acuan dalam skim pendanaan.
7. Komunikasi dengan petani; pengembangan sistem komunikasi perlu memperhatikan kelembagaan lokal, dalam hal ini melibatkan peran PPL (Petugas Penyuluh Lapangan), sangat strategis sebagai upaya pendekatan yang akan ditempuh untuk menjembatani kepentingan pihak asuransi dan petani.
Selain itu, ada faktor yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yakni ketersediaan data yang memadai, ketersediaan personal terlatih serta arus informasi, teknologi, dan gagasan penyempurnaan atas hasil pemantauan. Sehingga diharapkan penyempurnaan pengembangan lembaga asuransi pertanian di Indonesia dalam upaya melindungi usaha petani dapat terwujud sesuai harapan dan keinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar