DAFTAR BERITA

Rabu, 13 Februari 2013

Wapres Boediono Dapat Gelar Doktor HC dari Universitas Monash

Presiden SBY menghadiri upacara pengukuhan gelar Doktor HC bidang Hukum dari Universitas Monash, Australia, kepada Wapres Boediono, di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (13/2) sore. (foto: abror/presidensby.info)

INFO TABAGSEL.com- Monash Australia menganugerahkan Prof. Dr. Boediono gelar Doctors of Laws honoris causa dalam sebuah upacara kehormatan di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, 13 Februari, 2013.


Menurut Rektor dan Presiden Universitas Monash Ed Byrne, pemberian gelar Doctors of Laws honoris causa adalah penghargaan tertinggi dalam tradisi universitasnya. Ini adalah gelar ketiga yang diberikan kepada warganegara Indonesia setelah Profesor Sujudi, mantan Rektor Universitas Indonesia dan Haryono Suyono, mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Sebagai alumni Universitas Monash – lulus dengan gelar Master of Economics pada tahun 1972 – prestasi Dr. Boediono sangat membanggakan mengingat ia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional di samping dedikasinya sebagai Profesor Ekonomi di Universitas Gadjah Mada. “Hari ini, di istana yang indah ini, dihadiri keluarga, para pemimpin, para tokoh akademis dan sejawat, mari kita rayakan prestasi Dr. Boediono,” kata Profesor Ed Byrne.

Profesor Ed Byrne mengatakan, bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pemimpin Indonesia lainnya, Dr. Boediono telah memainkan peran strategis dalam upaya memperkuat demokrasi, menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. “Kemajuan Australia terkait sangat erat dengan para tetangganya. Di bawah kepemimpinan Dr. Boediono, Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini telah tumbuh pesat meski di tengah suasana ekonomi dunia yang masih tak menentu,” kata Profesor Ed Byrne. Selain itu ia juga memandang Wakil Presiden Boediono sangat berperan dalam upaya penguatan peran masyarakat melalui desentralisasi, mengembangkan koridor pertumbuhan dan otonomi daerah serta mendorong pengentasan kemiskinan dan program-program sosial yang inklusif.

Dalam pidato penerimaannya, Wakil Presiden Boediono menyampaikan pandangan akan demokrasi di Indonesia yang disebutnya telah mencapai kemajuan walaupun masih dalam beberapa catatan. Sejumlah kemajuan bisa terlihat dari kebebasan pers di Indonesia, transparansi dalam norma publik yang sejalan dengan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas yang semakin meninggi dan penegakan hukum yang berjalan semakin baik dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Wapres juga menyampaikan tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia, antara lain keseimbangan yang tepat dalam membangun daerah, cara terbaik melindungi hak asasi manusia dan meningkatkan toleransi agama dan pengembangan modal sosial. Modal sosial yang memadai hanya dapat diciptakan bila masyarakat tanpa henti berupaya mewujudkan rasa saling percaya.

“Visi saya adalah Indonesia yang terus bergerak maju dan selalu siap dan mampu memperbaiki berbagai kekeliruannya. Sebuah Indonesia yang menjaga cita-cita bersama agar tetap hidup,” kata Wapres Boediono (Selengkapnya baca pidato Wapres di Ruang Media).

Upacara tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty, para pejabat tinggi lintas kementerian, tokoh-tokoh perguruan tinggi serta keluarga dan kerabat. Upacara penyerahan gelar Doctor of Laws ini juga dihadiri oleh para tokoh akademisi dari Universitas Monash.

Hadir pula sejumlah tokoh nasional alumni Universitas Monash antara lain Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Eijkman Institut yang juga Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Muliaman Hadad, Ketua Otoritas Jasa Keuangan; Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan dan Ketut Mardjana, Direktur PT. Pos Indonesia dan Dewi Fortuna Anwar, Deputi Wakil Presiden Bidang Politik yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hubungan Monash dan Indonesia


Universitas Monash telah menjalin hubungan penting dan berkesinambungan dengan Indonesia sejak Monash Center for Southeast Asian Studies dibuka pada 1964, tak lama setelah universitas berdiri. Dalam hubungan yang terentang lebih dari 60 tahun tersebut, ribuan mahasiswa Indonesia telah lulus dari tingkat sarjana, pasca sarjana hingga doktoral dari Universitas Monash. Sebagian di antaranya kini telah menempati posisi penting di pemerintahan dan kalangan akademis. Selama lima tahun terakhir, Universitas Monash telah mendidik lebih dari 8000 mahasiswa Indonesia di berbagai tingkat pendidikan.


Dalam kunjungan para tokoh senior akademisi Universitas Monash di Jakarta pekan ini, Universitas Monash menandatangani kesepahaman dengan lembaga Eijkman Institut, pusat riset yang dipimpin Profesor Sangkot Marzuki dan berdiskusi dengan para pejabat lintas kementerian, akademisi dan kalangan swasta untuk memulai dialog atas empat isu dasar di Indonesia: kesehatan publik, pembangunan berkelanjutan, pendidikan dan inovasi serta kepemimpinan.

Para tokoh akademis Universitas Monash itu juga mengajak Indonesia bergabung membangun Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Solutions Network, SDSN) di Asia. Inisiatif di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bertujuan untuk memobilisasi semua sektor untuk menjawab tantangan global mengakhiri kemiskinan, meningkatkan inklusifitas sosial dan pembangunan berkelanjutan di muka bumi.

Hingga kini berbagai hubungan kerjasama terjalin antara Universitas Monash dan perguruan tinggi di tanah air antara lain Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Palangkaraya, Institut Seni Indonesia – Denpasar untuk berbagai bidang, yakni studi kawasan Australia, studi penyakit Demam Berdarah Dengue, peningkatan kapasitas tenaga akademis dan pertukaran dosen dan mahasiswa.

Selama berdirinya Universitas Monash, gelar honoris causa telah diberikan kepada penerima hadiah Nobel Profesor Dan Schechtman (2012), mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Fraser (2010) dan Pangeran Charles dari Inggris Raya (1981).

Tidak ada komentar: