INFO TABAGSEL.com-Tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap surat Perdana Menteri Australia, Tony Abbott dianggap terlalu cepat dan mengecewakan publik Indonesia.
Surat balasan yang dikirim PM Abbott tiba di istana Sabtu (23/11) diantar langsung oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Presiden Yudhoyono menggelar rapat kabinet terbatas tiga hari kemudian untuk menentukan langkah tanggapan terkait hubungan Indonesia-Australia yang sempat memburuk akibat dugaan aksi penyadapan lembaga intelejen negara tetangga itu.
"Presiden tidak memperlihatkan ketegasan Indonesia yang tidak senang dengan praktek kotor penyadapan," komentar pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana dalam sebuah email yang dikirim kepada BBC.
Presiden Yudhoyono di depan wartawan menyatakan hubungan dua negara dapat dipulihkan setelah Australia menyepakati penulisan protokol dan kode perilaku hubungan bilateral yang 'menguntungkan dua belah pihak dan wajib ditaati".
Yudhoyono juga mengatakan akan mengutus Menlu ke Australia untuk memulai pembicaraan tentang protokol tersebut.
"Ini tanggapan yang mengecewakan lah. Code of conduct itu tak akan terlalu kuat, apa jaminanya akan dipatuhi?" seru anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya.
Sebaliknya di Australia sikap Presiden Yudhoyono itu disambut gembira. PM Abbott langsung menggelar jumpa pers Rabu (27/11) pagi di Melbourne, menyatakan tanggapannya atas sikap Jakarta yang disebutnya 'sangat hangat'.
Presiden 'lebih tahu'
Surat yang dikirim PM Abbott menurut Presiden Yudhoyono menggarisbawahi komitmen Australia untuk menjaga hubungan bilateral yang kuat antara dua negara.
Surat itu juga berisi janji bahwa negara benua kanguru itu 'tak akan merugikan kepentingan Indonesia' di masa depan.
Tetapi menurut Tantowi Yahya, tak ada yang tahu pasti apa isi surat sesungguhnya karena hanya dibaca Presiden sendiri.
"Buat kita yang penting suasana publik adalah keinginan untuk mendengar kata maaf. Kalau itu tak ada, ya kenapa kita harus cepat menawarkan pemulihan hubungan?"
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana juga mempersoalkan pernyataan presiden yang dianggap terlalu subyektif karena tak menimbang pendapat publik.
"Padahal kemarahan terhadap Australia tidak seharusnya dimonopoli oleh Presiden," tambah Hikmahanto.
Hikmahanto yang sebelumnya mengusulkan pengusiran pejabat intelejen Australia dari Jakarta mengatakan sikap kurang tegas dalam kasus ini akan merugikan posisi Indonesia dalam kasus bilateral di masa datang.
"Tidak hanya untuk kepentingan hubungan dengan Australia, tetapi terhadap negara-negara yang secara aktif atau membantu dilakukannya penyadapan terhadap Indonesia seperti Singapura dan Korea Selatan."
Pembantu dekat Presiden Yudhoyono yang turut hadir dalam rapat koordinasi menyiapkan tanggapan terhadap surat PM Abbott menyatakan Presiden lebih tahu dari para pengamat.
"Pengamat ini siapa? Apa mereka tahu isi surat Tony Abbott? Pro kontra ini biasa saja lah," tulis Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam pesan pendek kepada BBC.
Lagi pula menurut Djoko penghentian sejumlah kerjasama dengan Australia tetap dilanjutkan hingga penyusunan protokol dan kode perilaku hubungan bilateral dua negara disepakati.
Terkait masalah yang sama, Komisi I DPR akan memanggil Menlu Marty Natalegawa, Kepala BIN, serta Lembaga Sandi Negara besok (Kamis, 28/11).
Surat balasan yang dikirim PM Abbott tiba di istana Sabtu (23/11) diantar langsung oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Presiden Yudhoyono menggelar rapat kabinet terbatas tiga hari kemudian untuk menentukan langkah tanggapan terkait hubungan Indonesia-Australia yang sempat memburuk akibat dugaan aksi penyadapan lembaga intelejen negara tetangga itu.
"Presiden tidak memperlihatkan ketegasan Indonesia yang tidak senang dengan praktek kotor penyadapan," komentar pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana dalam sebuah email yang dikirim kepada BBC.
Presiden Yudhoyono di depan wartawan menyatakan hubungan dua negara dapat dipulihkan setelah Australia menyepakati penulisan protokol dan kode perilaku hubungan bilateral yang 'menguntungkan dua belah pihak dan wajib ditaati".
Yudhoyono juga mengatakan akan mengutus Menlu ke Australia untuk memulai pembicaraan tentang protokol tersebut.
"Ini tanggapan yang mengecewakan lah. Code of conduct itu tak akan terlalu kuat, apa jaminanya akan dipatuhi?" seru anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya.
Sebaliknya di Australia sikap Presiden Yudhoyono itu disambut gembira. PM Abbott langsung menggelar jumpa pers Rabu (27/11) pagi di Melbourne, menyatakan tanggapannya atas sikap Jakarta yang disebutnya 'sangat hangat'.
Presiden 'lebih tahu'
Surat yang dikirim PM Abbott menurut Presiden Yudhoyono menggarisbawahi komitmen Australia untuk menjaga hubungan bilateral yang kuat antara dua negara.
Surat itu juga berisi janji bahwa negara benua kanguru itu 'tak akan merugikan kepentingan Indonesia' di masa depan.
Tetapi menurut Tantowi Yahya, tak ada yang tahu pasti apa isi surat sesungguhnya karena hanya dibaca Presiden sendiri.
"Buat kita yang penting suasana publik adalah keinginan untuk mendengar kata maaf. Kalau itu tak ada, ya kenapa kita harus cepat menawarkan pemulihan hubungan?"
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana juga mempersoalkan pernyataan presiden yang dianggap terlalu subyektif karena tak menimbang pendapat publik.
"Padahal kemarahan terhadap Australia tidak seharusnya dimonopoli oleh Presiden," tambah Hikmahanto.
Hikmahanto yang sebelumnya mengusulkan pengusiran pejabat intelejen Australia dari Jakarta mengatakan sikap kurang tegas dalam kasus ini akan merugikan posisi Indonesia dalam kasus bilateral di masa datang.
"Tidak hanya untuk kepentingan hubungan dengan Australia, tetapi terhadap negara-negara yang secara aktif atau membantu dilakukannya penyadapan terhadap Indonesia seperti Singapura dan Korea Selatan."
Pembantu dekat Presiden Yudhoyono yang turut hadir dalam rapat koordinasi menyiapkan tanggapan terhadap surat PM Abbott menyatakan Presiden lebih tahu dari para pengamat.
"Pengamat ini siapa? Apa mereka tahu isi surat Tony Abbott? Pro kontra ini biasa saja lah," tulis Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam pesan pendek kepada BBC.
Lagi pula menurut Djoko penghentian sejumlah kerjasama dengan Australia tetap dilanjutkan hingga penyusunan protokol dan kode perilaku hubungan bilateral dua negara disepakati.
Terkait masalah yang sama, Komisi I DPR akan memanggil Menlu Marty Natalegawa, Kepala BIN, serta Lembaga Sandi Negara besok (Kamis, 28/11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar