INFO TABAGSEL.com-Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Padang Lawas Utara (Paluta), Naga Bakti Harahap, yang ditetapkan sebagai tersangka proyek pengadaan alat kesehatan di rumah sakit, merasa dizolimi. Ia merasa penyidikannya terkesan terburu-buru dengan tuduhan mark up Bantuan Daerah Bawahan (BDB) Rp 9,8 miliar.
“Anehnya pada saat penandatanganan kontrak alkes, Direktur diminta untuk membantu oleh salah satu pejabat setempat proyek yang ditangani Ridwan Winata,” kata Aprizon Alwi SH MH sebagai kuasa hukum Naga Bakti Harahap kepada wartawan di Mapoldasu, Senin (23/9) sore.
Lanjut Aprizon, bendahara Pemkab Paluta memperoleh uang Rp97 juta dari Ridwan Winata, namun Ridwan tidak dijadikan tersangka dan sampai saat ini masih bebas. Padahal uang yang bersumber dari dana BDB itu masuk ke rekening kas pemerintah daerah.
“Klien saya tidak mengetahui uang itu uang apa. Proposal diteken oleh Bupati dan bukan klien saya. Sedangkan HPS pelaksanaan proyek sudah disiapkan oleh Ridwan Winata. Direktur pada saat itu mengintruksikan untuk melakukan pengecekan harga alkes tersebut ke Jakarta kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rahmad Taufik Hasibuan,” ungkapnya.
Menurut Aprizon, Rahmad Taufik Hasibuan ternyata tidak melaksanakan perintah Naga Bakti Harahap. Hal itu terungkap saat di hadapan penyidik setelah ditangkap di salah satu restoran cepat saji di Medan pada 21 Agustus 2013 sekitar pukul 19.00 WIB. PPK melakukan pengecekan berdasarkan brosur-brosur yang disodorkan Ridwan Winata, bukan langsung mengcek harga ke Jakarta.
“Setelah diperiksa penyidik, bahwa klien kita dijebak,” ungkapnya.
“Meski Ridwan Winata sudah ditangkap dan ditahan, namun, penyidikan harus mengungkap siapa aktor dibalik ini, jangan hanya mengejar klein kami. Disini penyidik terkesan melindungi sesuatu,” ungkapnya.
Ditambahkanya, Ridwan Winata mengatakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mendapatkan 5 persen dari proyek tersebut. “Dokter (Naga Bakti Harahap) tak pernah menerima 5 persen itu. Hanya uang yang kata Ridwan Winata merupakan untuk ucapan terima kasih. Namun klien kami menegaskan, apabila uang ini bermasalah, maka akan dikembalikan. Sekarang uang tersebut diserahkan kepada penyidik,” tegasnya.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Poldasu Kombes Pol Sadono Budi Nugroho, mengatakan tersangka proyek pengadaan alkes itu berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sedangkan H bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Keduanya terindikasi menggelembungkan biaya pengadaan alkes itu hingga mendapat keuntungan pribadi senilai Rp 5 miliar.
Sadono mengatakan kasus itu masih didalami dengan berkoordinasi dengan Kejati Lampung, karena salah satu tersangka, Ridwan Winatar ditahan di sana. Ridwan diketahui sebagai rekanan pengadaan alkes di enam kota, yaitu Toba Samosir (Tobasa), Samosir, Tapanuli Tengah (Tapteng), Sibolga, Labuhanbatu Selatan (Labusel), dan Padang Lawas Utara (Paluta).
“Jadi berdasarkan itu, kami juga meyelidiki dugaan korupsi alkes di lima kota lainnya. Indikasinya alat KB juga dimark up,” ujarnya.
Dalam kasus ini Subdit III/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda Sumut sudah menahan sembilan tersangka, di antaraya Kepala BKKBN Tobasa yang juga mantan Kadis Kesehatan Tobasa, Haposan Siahaan, selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen). Ia terindikasi menggelapkan uang negara Rp 4,9 miliar. Seluruh dana yang digelapkan itu bersumber dari Bantuan Daerah Bawahan (BDB) Pemprov Sumut 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar