INFO TABAGSEL.com-Asian Agri bersikap kooperatif dengan melakukan pembayaran terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri.
Serta tetap akan mengajukan keberatan sesuai ketentuan yang berlaku demi tegaknya keadilan.
General Manager Grup Asian Agri Freddy Widjaya di Jakarta, Kamis mengatakan, SKP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung atas perkara Saudara Suwir Laut dimana Asian Agri bukan pihak dan tidak pernah didakwa serta tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri.
“Namun demikian, kami tetap patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dengan melakukan pembayaran pada hari ini,” katanya.
Freddy Widjaya menambahkan, pihaknya selama periode pajak yang dipermasalahkan yakni 2002 hingga 2005 telah melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak.
Bahkan Grup Asian Agri termasuk salah satu pembayar pajak yang besar di Industri Kelapa Sawit.
Meski demikian, korporasi ini mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp1,25 triliun yang diterbitkan.
Jumlah tersebut melebihi total keuntungan dari ke 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri pada periode 2002-2005 yang hanya sebesar Rp1,24 Triliun, belum lagi ditambahkan denda pajak yang dikenakan sehingga totalnya menjadi Rp4,4 triliun.
“Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100 persen keuntungan perusahaan,¿ tegas Freddy Widjaya.
Freddy Widjaya mengharapkan agar permasalahan ini dapat dilihat secara proporsional. Opini yang tidak proporsional dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan yang membina 29.000 keluarga petani plasma dan bermitra dengan 25.000 petani swadaya.
Sementara, Mohammad Assegaf selaku kuasa hukum Suwir Laut mengutip pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mempertanyakan perhitungan pajak yang disebut harus dibayar kelompok perusahaan itu. Bukti valid pajak terhutang hingga kini tak bisa ditunjukkan DJP.
“Bagaimana Majelis Hakim tingkat Kasasi dapat menetapkan utang pajak tersebut? Menurut ketentuan hukum, Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktian fakta. Jadi angka Rp1,25 triliun itu berdasarkan apa,” kata Assegaf.(M011)
Serta tetap akan mengajukan keberatan sesuai ketentuan yang berlaku demi tegaknya keadilan.
General Manager Grup Asian Agri Freddy Widjaya di Jakarta, Kamis mengatakan, SKP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung atas perkara Saudara Suwir Laut dimana Asian Agri bukan pihak dan tidak pernah didakwa serta tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri.
“Namun demikian, kami tetap patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dengan melakukan pembayaran pada hari ini,” katanya.
Freddy Widjaya menambahkan, pihaknya selama periode pajak yang dipermasalahkan yakni 2002 hingga 2005 telah melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak.
Bahkan Grup Asian Agri termasuk salah satu pembayar pajak yang besar di Industri Kelapa Sawit.
Meski demikian, korporasi ini mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp1,25 triliun yang diterbitkan.
Jumlah tersebut melebihi total keuntungan dari ke 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri pada periode 2002-2005 yang hanya sebesar Rp1,24 Triliun, belum lagi ditambahkan denda pajak yang dikenakan sehingga totalnya menjadi Rp4,4 triliun.
“Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100 persen keuntungan perusahaan,¿ tegas Freddy Widjaya.
Freddy Widjaya mengharapkan agar permasalahan ini dapat dilihat secara proporsional. Opini yang tidak proporsional dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan yang membina 29.000 keluarga petani plasma dan bermitra dengan 25.000 petani swadaya.
Sementara, Mohammad Assegaf selaku kuasa hukum Suwir Laut mengutip pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mempertanyakan perhitungan pajak yang disebut harus dibayar kelompok perusahaan itu. Bukti valid pajak terhutang hingga kini tak bisa ditunjukkan DJP.
“Bagaimana Majelis Hakim tingkat Kasasi dapat menetapkan utang pajak tersebut? Menurut ketentuan hukum, Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktian fakta. Jadi angka Rp1,25 triliun itu berdasarkan apa,” kata Assegaf.(M011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar