INFO TABAGSEL.com-Kepolisian Daerah Papua mengatakan menyelidiki kebenaran berita tewasnya dua orang warga sipil di Sorong, Papua Barat akibat berondongan peluru Selasa (30/4) malam hanya beberapa jam menjelang peringatan 50 tahun penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia.
Sejumlah laporan media menyebut dua korban adalah simpatisan kelompok pro-kemerdekan namun polisi menyataka secara resmi belum ada laporan korban tewas akibat penembakan.
“Masih kita selidiki apakah benar informasi itu, karena sampai saat ini informasinya simpang siur dan belum ada laporan mengenai hal tersebut,” kata Juru bicara Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar (Pol) I Gede Sumerta Jaya, kepada Arti Ekawati dari BBC Indonesia.
Media lokal dan nasional menyebut dua orang warga Sorong, Abner Malagawak, 22, dan Thomas Blesia, 28, tewas setelah diberondong peluru oleh seseorang dari sebuah mobil berkaca gelap pada Selasa malam.
Tetapi polisi mengakui terjadi bentrok setelah penyerangan terhadap petugas gabungan polisi dan TNI yang berpatroli daerah distrik Aimas, Sorong pada malam yang sama.
“Kejadiannya sekitar pukul 00:30 sampai pukul 01:00. Ada sekelompok massa mencegat dan melakukan pelemparan dengan berbagai senjata tajam,” tambah Sumerta.
Polisi melepas tembakan dalam insiden tersebut, namun hanya berbentuk "tembakan peringatan" ke udara agar massa tidak lagi mengejar aparat.
Cermin ketidakpuasan
Dalam setahun terakhir, intensitas bentrok dan kasus kekerasan antara warga dan aparat di Papua makin sering menjadi berita utama media.
Peneliti papua pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Adriana Elisabeth, menyatakan keadaan ini mencerminkan meningkatnya sentimen ketidakpuasan warga Papua terhadap berintegrasi dengan Republik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Adriana mengatakan warga Papua antara lain menderita karena stigma daerah mereka merupakan basis konflik.
“Stigma bahwa Papua itu adalah daerah konflik dan separatis sangat menyakitkan bagi orang-orang Papua. Seolah-olah menjadi orang Papua itu salah,” kata Adriana.
Ketidakpuasan juga muncul dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang dianggap tidak pernah diselesaikan dengan tuntas.
“Ini selalu jadi problem paling besar untuk case di Papua. Selama berintegrasi dengan Indonesia mereka tidak pernah merasakan penyelesaian yang adil, ya jelas ketidakpuasan itu akan terus muncul.”
Meski demikian Adriana juga mengakui sebagian masyarakat lokal kini menikmati dana otonomi khusus dalam bentuk beragam fasilitas infrastruktur yang sebelumnya nyaris tak ada sama sekali.
Jakarta menggelontorkan triliunan dana otonomi khusus, diluar anggaran belanja daerah, untuk Papua dan Papua Barat sejak 2001. Tahun lalu jumlahnya mencapai Rp5,5 triliun untuk dua provinsi di ujung timur Indonesia tersebut.
Namun pemanfaatannya dipandang sangat kurang menyentuh hajat hidup rakyat sesungguhnya, karena lebih banyak anggaran diserap sekelompok elit pejabat daerah.
Dalam audit Badan Pemeriksa Keungan terhadap dana Otsus Papua antara 2002-2010, ditemukan penyimpangan mencapai Rp4,28 triliun.
DPR kini juga tengah meminta audit yang sama untuk pemanfaatan dana Otsus tahun 2011-2012.
Sejumlah laporan media menyebut dua korban adalah simpatisan kelompok pro-kemerdekan namun polisi menyataka secara resmi belum ada laporan korban tewas akibat penembakan.
“Masih kita selidiki apakah benar informasi itu, karena sampai saat ini informasinya simpang siur dan belum ada laporan mengenai hal tersebut,” kata Juru bicara Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar (Pol) I Gede Sumerta Jaya, kepada Arti Ekawati dari BBC Indonesia.
Media lokal dan nasional menyebut dua orang warga Sorong, Abner Malagawak, 22, dan Thomas Blesia, 28, tewas setelah diberondong peluru oleh seseorang dari sebuah mobil berkaca gelap pada Selasa malam.
Tetapi polisi mengakui terjadi bentrok setelah penyerangan terhadap petugas gabungan polisi dan TNI yang berpatroli daerah distrik Aimas, Sorong pada malam yang sama.
“Kejadiannya sekitar pukul 00:30 sampai pukul 01:00. Ada sekelompok massa mencegat dan melakukan pelemparan dengan berbagai senjata tajam,” tambah Sumerta.
Polisi melepas tembakan dalam insiden tersebut, namun hanya berbentuk "tembakan peringatan" ke udara agar massa tidak lagi mengejar aparat.
Cermin ketidakpuasan
Dalam setahun terakhir, intensitas bentrok dan kasus kekerasan antara warga dan aparat di Papua makin sering menjadi berita utama media.
Peneliti papua pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Adriana Elisabeth, menyatakan keadaan ini mencerminkan meningkatnya sentimen ketidakpuasan warga Papua terhadap berintegrasi dengan Republik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Adriana mengatakan warga Papua antara lain menderita karena stigma daerah mereka merupakan basis konflik.
“Stigma bahwa Papua itu adalah daerah konflik dan separatis sangat menyakitkan bagi orang-orang Papua. Seolah-olah menjadi orang Papua itu salah,” kata Adriana.
Ketidakpuasan juga muncul dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang dianggap tidak pernah diselesaikan dengan tuntas.
“Ini selalu jadi problem paling besar untuk case di Papua. Selama berintegrasi dengan Indonesia mereka tidak pernah merasakan penyelesaian yang adil, ya jelas ketidakpuasan itu akan terus muncul.”
Meski demikian Adriana juga mengakui sebagian masyarakat lokal kini menikmati dana otonomi khusus dalam bentuk beragam fasilitas infrastruktur yang sebelumnya nyaris tak ada sama sekali.
Jakarta menggelontorkan triliunan dana otonomi khusus, diluar anggaran belanja daerah, untuk Papua dan Papua Barat sejak 2001. Tahun lalu jumlahnya mencapai Rp5,5 triliun untuk dua provinsi di ujung timur Indonesia tersebut.
Namun pemanfaatannya dipandang sangat kurang menyentuh hajat hidup rakyat sesungguhnya, karena lebih banyak anggaran diserap sekelompok elit pejabat daerah.
Dalam audit Badan Pemeriksa Keungan terhadap dana Otsus Papua antara 2002-2010, ditemukan penyimpangan mencapai Rp4,28 triliun.
DPR kini juga tengah meminta audit yang sama untuk pemanfaatan dana Otsus tahun 2011-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar