Semarang (ANTARA
News) - Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, akan memikirkan kebijakan
pengobatan gratis bagi para pasien kerancuan kelamin, mengingat biaya
pengobatan yang sangat mahal atas kelainan tersebut.
"Pemerintah bersedia memberikan pengobatan gratis bagi mereka, tetapi harus melalui perencanaan yang matang," katanya, usai membuka seminar tentang "Sel Punca dan Gangguan Perkembangan Kelamin" di Semarang, Sabtu.
Seminar yang diprakarsai Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satunya membahas kerancuan kelamin dengan menghadirkan para pakar di bidang tersebut yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Karena itu, Nafsiah mengatakan melalui pertemuan dan seminar yang salah satunya membahas kerancuan kelamin atau disorders of sex development (DOD) itu diharapkan bisa menghasilkan kajian utuh terkait kelainan itu.
"Selama ini memang belum ada kebijakan tentang kerancuan kelamin. Saya katakan datang ke sini untuk belajar. Kalau kami tidak dapat informasi yang lengkap dan benar, kami tidak bisa bikin apa-apa," katanya.
Ia meminta Universitas Diponegoro Semarang bersama tim-tim kesehatan untuk menyusun kajian, meliputi kasus DOD dan hasil-hasil penelitian yang akan digunakan melihat secara utuh atas kasus kelainan kelamin.
"Dari situ bisa dilihat apa saja yang dibutuhkan, apakah terkait kebijakan, strategi penanganan, pengobatannya, dan sebagainya yang bisa menjadi pertimbangan program dari Kementerian Kesehatan," kata Nafsiah.
Ketua Tim Kerancuan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi, Prof Sultana MH. Faradz, mengakui pihaknya setidaknya telah menangani sekitar 600 kasus kerancuan kelamin dalam rentang pada 2001 hingga 2012.
Padahal, kata dia, tim tersebut telah terbentuk sejak 1989 dan saat itu memang belum dilakukan pendataan pasien secara sistematis sehingga bisa dikatakan jumlah pasien kerancuan yang telah ditangani lebih banyak.
Pada beberapa kasus kerancuan kelamin, kata dia, pasien sebenarnya bisa kembali normal dengan pengobatan yang berlangsung seumur hidup, tetapi obat-obatannya memang mahal dan tidak ada di Indonesia.
"Selama ini obat-obatan yang kami gunakan menangani kerancuan kelamin itu bantuan dari Belanda. Namun, kami gembira karena Bu Menkes mau memikirkan pengadaan obat tersebut mulai tahun depan," katanya.
Dari sekitar 600 pasien kerancuan kelamin yang ditangani timnya, kata Pembantu Rektor IV Undip itu, 450 pasien di antaranya telah menjalani pengobatan, sementara sisanya masih konsultasi dan pendampingan.
"Pemerintah bersedia memberikan pengobatan gratis bagi mereka, tetapi harus melalui perencanaan yang matang," katanya, usai membuka seminar tentang "Sel Punca dan Gangguan Perkembangan Kelamin" di Semarang, Sabtu.
Seminar yang diprakarsai Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satunya membahas kerancuan kelamin dengan menghadirkan para pakar di bidang tersebut yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Karena itu, Nafsiah mengatakan melalui pertemuan dan seminar yang salah satunya membahas kerancuan kelamin atau disorders of sex development (DOD) itu diharapkan bisa menghasilkan kajian utuh terkait kelainan itu.
"Selama ini memang belum ada kebijakan tentang kerancuan kelamin. Saya katakan datang ke sini untuk belajar. Kalau kami tidak dapat informasi yang lengkap dan benar, kami tidak bisa bikin apa-apa," katanya.
Ia meminta Universitas Diponegoro Semarang bersama tim-tim kesehatan untuk menyusun kajian, meliputi kasus DOD dan hasil-hasil penelitian yang akan digunakan melihat secara utuh atas kasus kelainan kelamin.
"Dari situ bisa dilihat apa saja yang dibutuhkan, apakah terkait kebijakan, strategi penanganan, pengobatannya, dan sebagainya yang bisa menjadi pertimbangan program dari Kementerian Kesehatan," kata Nafsiah.
Ketua Tim Kerancuan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi, Prof Sultana MH. Faradz, mengakui pihaknya setidaknya telah menangani sekitar 600 kasus kerancuan kelamin dalam rentang pada 2001 hingga 2012.
Padahal, kata dia, tim tersebut telah terbentuk sejak 1989 dan saat itu memang belum dilakukan pendataan pasien secara sistematis sehingga bisa dikatakan jumlah pasien kerancuan yang telah ditangani lebih banyak.
Pada beberapa kasus kerancuan kelamin, kata dia, pasien sebenarnya bisa kembali normal dengan pengobatan yang berlangsung seumur hidup, tetapi obat-obatannya memang mahal dan tidak ada di Indonesia.
"Selama ini obat-obatan yang kami gunakan menangani kerancuan kelamin itu bantuan dari Belanda. Namun, kami gembira karena Bu Menkes mau memikirkan pengadaan obat tersebut mulai tahun depan," katanya.
Dari sekitar 600 pasien kerancuan kelamin yang ditangani timnya, kata Pembantu Rektor IV Undip itu, 450 pasien di antaranya telah menjalani pengobatan, sementara sisanya masih konsultasi dan pendampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar