INFO TABAGSEL.com-Letusan Kelud malam Jumat Wage atau Kamis 13 Februari 2014 sekitar pukul 22.50 WIB berakibat fatal. Empat orang tewas, sebagian besar pulau Jawa berselimut abu, bandara ditutup, sejumlah penerbangan -- termasuk dari Australia -- dialihkan bahkan dibatalkan.
Namun, apa yang terjadi baru-baru ini tak sebanding dengan dampak letusan Kelud pada 19 Mei 1919. Kala itu, 5.000 orang tewas, mayoritas terkena aliran laharnya.
Kelud bukan satu-satunya gunung di Indonesia yang berpotensi bahaya. Hanya dalam hitungan hari sebelumnya, Sinabung yang 'batuk' mengeluarkan awan panas yang menyebabkan 17 orang tewas.
Dan baru 4 tahun lalu, tepatnya pada Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 WIB, Merapi meletus dahsyat, sebanyak 275 nyawa melayang. Di masa lalu, erupsi Merapi pernah membuat 1.400 orang meninggal pada 1930-an.
Kelud, Sinabung, dan Merapi sejatinya adalah peringatan bahwa nusantara yang subur, gemah ripah loh jinawi menyimpan banyak potensi bencana: gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Indonesia terletak di zona tektonik yang sangat aktif, pertemuan 3 lempeng besar dunia –Pasifik, Australia, dan Eurasia, dan sejumlah lempeng kecil lain. Berada di lingkaran 'cincin api Pasifik' atau Pacific Ring of Fire. [Baca juga: Letusan Kelud: Bahaya yang Mengintai dari `Ring of Fire`]
Sejumlah letusan gunung terdahsyat dalam sejarah dunia terjadi di Indonesia. Seperti diungkap situs sains LiveScience, dari 10 letusan gunung terbesar dalam sejarah, ranking 1 adalah Tambora di Pulau Sumbawa pada 1815.
Letusan Tambora adalah yang terkuat yang pernah tercatat manusia, yang mencapai skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI) -- indeks letusan gunung yang mirip skala Richter untuk mengukur kekuatan gempa. VEI memiliki skala 1-8.
Letusan Krakatau pada 26-27 April 1883 juga masuk 10 besar, yang mencapai 6 VEI. Memicu tsunami setinggi 40 meter yang dampaknya maut. Menewaskan 36 ribu orang.
Akibat dampaknya yang mematikan, termasuk pada masa lalu, sejumlah gunung di Indonesia dipantau Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), yang mengabadikan fotonya dari angkasa luar.
Anak Krakatau
Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui Satelit EO-1.
Ada 2 alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, juga karena masa lalunya.
Induknya, Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.20 dengan kekuatan 13.000 kali bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Salah satu letusan gunung api paling kolosal sepanjang sejarah.
Saat itu, suara letusan Krakatau terdengar sampai Madagaskar dan Australia. Dua pertiga bagian gunung tenggelam ke dasar laut, dan menciptakan gelombang tsunami yang menewaskan puluhan ribuan orang.
Gambar di atas diambil dari Satelit Ikonos pada 11 Juni 2005. "Anak Krakatau muncul dari laut kurang dari 80 tahun yang lalu, ia merupakan laboratorium alam untuk mengamati perkembangan suatu ekosistem baru," demikian dimuat dalam situs NASA.
Seperti kebanyakan dari sekitar 130 gunung berapi aktif di Indonesia, Krakatau terbentuk di sepanjang Sunda Arc, kurva sepanjang 3.000 kilometer di mana Lempeng Australia tenggelam di bawah Lempeng Eurasia.
Gunung Anak Krakatau terakhir meletus pada 2 September 2012. Kini ia berada dalam status Waspada atau Level II.
Tambora
Meski sudah tak lama aktif, Tambora masih menarik perhatian. Astronot NASA di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada tahun 2009 mengabadikan kaldera Tambora dari luar angkasa.
Kaldera Tambora berdiameter 6 kilometer dan sedalam 1.100 meter. Kawah ini terbentuk saat Tambora yang saat itu tingginya sekitar 4.000 meter kehilangan puncaknya dan ruang magma dikosongkan dalam letusan dahsyat tahun 1815.
Dalam foto NASA, tampak kawah Tambora menjadi danau air tawar, yang juga diisi aliran lava minor dan kubah dari abad ke-19 dan ke-20.
Deposit tephra -- material campuran letusan gunung berapi -- bisa dilihat dari sepanjang pinggiran kawah barat laut. Fumarol aktif atau ventilasi uap, masih eksis di kaldera Tambora.
Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka 2 orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan' oleh dampak letusan dahsyat itu.
Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur". [Baca juga: Misteri Pompeii, Ilmuwan Kuak Jejaring Sosial di 'Kota Mati']
Gunung Toba
Awalnya tak banyak orang yang tahu, Danau Toba adalah bekas gunungsuper purba (supervolkano) yang meletus dahsyat sekitar 70 ribu tahun lalu. Letusan itu diyakini sebagai yang terbesar dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir.
Kala itu, dalam waktu sekitar 2 minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari Kaldera Toba di Sumatera Utara. Aliran piroklastik -- awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu -- mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.
Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, abu ketebalan abu sampai 6 meter.
Pascaletusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera moden yang dipenuhi air -- menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pasca letusan.
Foto Kaldera Toba diambil oleh instrumen Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) yang terpasang di Satelit Terra NASA pada tanggal 28 Januari 2006.
Kini, melihat venetasi tropis subur yang memenuhi area tersebut, sulit dibayangkan dampak letusan gunung yang menghancurkan apapun, termasuk populasi manusia.
Padahal, kala itu, sangat sedikit makhluk bertahan hidup di bagian yang luas di Indonesia. Letusan Toba menyababkan 'musim dingin vulkanik' selama beberapa tahun, menimbulkan pendinginan global, dan mengakibatkan konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan di seluruh dunia.
Merapi 2010
NASA mengabadikan dampak letusan Merapi. Foto tersebut diambil melalui fasilitas ASTER di Satelit Terra pada Senin 15 November 2010.
Foto didominasi warna merah tua menunjukkan bahaya aliran priroklastik Merapi. Longsoran berupa gas panas, debu, dan batuan membara meluncur dengan cepat. Bahkan mencapai kecepatan lebih dari 150 kilometer per jam.
Aliran piroklastik ini biasanya mengikuti medan tertentu, namun bisa menyebar ke area yang lebih luas.
Gambar dari instrumen ASTER pada Satelit Terra NASA menunjukkan aliran piroklastik yang besar di sepanjang Sungai Gendol, di Selatan Merapi.
Deposit lahar mengalir ke Sungai Gendol. Sementara di utara tempat latihan golf Merapi, fitur merah menggambarkan daerah terdampak aliran piroklastik yang menyebabkan kehancuran nyaris total.
Sementara, wilayah abu-abu gelap, sebagian besar pohon tumbang dan tanah dilapisi abu dan batu. (Ein/Sss)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar