INFO TABAGSEL.com-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengubah pola ujian nasional (UN) pada 2015, karena saat itu semua jenjang pendidikan sudah menerapkan Kurikulum 2013.

"Pola UN tidak mungkin diubah sekarang, karena siswa pelaksana Kurikulum 2013 masih belum menjadi peserta UN," kata Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media, Sukemi, di Surabaya, Selasa.

Disela "focus group discussion" (FGD) tentang Kurikulum 2013 dan UN yang diikuti akademisi, praktisi pendidikan, pers, dan pegiat jaringan penulis artikel, ia menjelaskan UN sebagai standar evaluasi akan tetap ada.

Hal itu merujuk pada standar evaluasi yang selalu ada pada semua jenis kurikulum pendidikan dan UN juga merupakan amanat UU Sisdiknas yang dapat menjadi ukuran untuk pembanding standar pendidikan dengan negara lain.

"Tapi, pola UN bisa jadi akan disesuaikan dengan Kurikulum 2013 pada saat seluruh siswa sudah menerapkan Kurikulum 2013, sedangkan Kurikulum 2013 saat ini hanya diterapkan pada siswa kelas 1 dan 4 SD, kelas 1 (VII) SMP, dan kelas 1 (X) SMA," katanya.

Dalam diskusi yang juga diikuti mantan Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitang) Kemdikbud Hari Setiadi itu, ia mengaku belum bisa merinci bentuk perubahan pola UN itu.

"Yang jelas, UN saat ini dipakai pemerintah untuk empat fungsi, yakni pemetaan, syarat kelulusan, syarat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, dan intervensi kebijakan. Pemetaan dan intervensi kebijakan itu bisa dilakukan kalau ada UN," katanya.

Misalnya, ada SMA di Jakarta dengan hanya lima siswa yang semuanya tidak lulus UN, lalu Kemendikbud melakukan intervensi dengan kebijakan merger.

"Atau, SMA di NTB yang jeblok pada mata pelajaran Bahasa Inggris, ternyata sekolah itu tidak memiliki guru Bahasa Inggris dan pengajar Bahasa Inggris justru guru bidang studi lain, lalu kami beri guru Bahasa Inggris," katanya.

US dan UN


Sementara itu, mantan Kepala Puspendik Balitbang Kemendikbud Hari Setiadi menyatakan Kemendikbud sejak tahun 2011 sebenarnya sudah menggabungkan nilai ujian sekolah (US) dengan UN. US berfungsi sebagai evaluasi internal dan UN sebagai evaluasi eksternal.

"Peran dari nilai US mencapai 40 persen, sedangkan UN mencapai 60 persen, sehingga kalau banyak siswa yang lulus UN karena ada faktor US itu. Kedepan, kami akan memberikan kisi-kisi US agar kualitas US semakin baik," katanya.

Dalam diskusi yang dipandu Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad itu, ia mengatakan US sebagai evaluasi internal merupakan "pintu masuk" bagi penilaian sesuai Kurikulum 2013 yang mengevaluasi sikap/perilaku, ketrampilan, dan pengetahuan.

"Kalau UN sebagai evaluasi eksternal akan bisa menjadi pintu masuk bagi syarat masuk perguruan tinggi, namun UN sekarang masih belum sepenuhnya bisa seperti itu, karena selama nilai US dan UN ada disparitas menunjukkan kualitas masih rendah," katanya.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Jatim Bagong Suyanto menilai UN saat ini saat ini masih mengalami sakralisasi, sehingga evaluasi pendidikan saat ini justru menimbulkan "ketakutan" sehingga sekolah mirip LBB (lembaga bimbingan belajar).

"Karena itu, perlu ada desakralisasi UN dengan memosisikan UN sebatas 20-25 persen, sedangkan US dengan porsi lebih besar yakni 75-80 persen. Itu penting, karena proses pembelajaran selama tiga tahun itu dievaluasi melalui US. Jadi, US lebih penting dan sesuai dengan Kurikulum 2013," kata sosiolog Unair itu.

Masalahnya, pemerintah masih belum sepenuhnya percaya dengan sekolah, sehingga US pun tidak dipercaya. "Ke depan, seiring dengan proses penerapan Kurikulum 2013, pemerintah harus percaya kepada US. Kalau sekolah dan guru tidak dipercaya, ya ironis," katanya.

Dalam FGD itu, mayoritas peserta mendukung Kurikulum 2013 sebagai kurikulum terbaik karena penilaian dalam kurikulum itu tidak hanya menilai kognitif, tapi sikap/perilaku dan ketrampilan juga dinilai.

Namun, mayoritas peserta menyoroti UN sebagai standar evaluasi yang justru akan "tabrakan" dengan tujuan Kurikulum 2013. "Kurikulum 2013 itu mencetak siswa kreatif dan baik, tapi kalau ujung-ujungnya berakhir pada UN ya percuma," kata pengamat pendidikan, Baidowi.